Karena tidak ada inspirasi untuk postingan, akhirnya saya membuat cerita pendek. Saya memberi judul ceritanya "Hilang dalam Cinta" tanpa pikir panjang, baru sadar bahwa ada novel dengan judul yang sama (sepertinya saya agak katro ya?). Cerita ini terinspirasi dari kehidupan seseorang. Sebagian besar sekitar 70% aslinya. Namun, karena ending aslinya kurang menarik, saya jadi bingung menentukan endingnya. Mungkin ada yang punya ide? Postingan ini saya bagi menjadi 1 Halaman
Di sebuah rumah...di ruang tamu...
“Oh ya Van, perkenalkan ini adik manis ku,” ucap Fitri.
“Oh ya, manis sekali...adik manis namanya siapa?” tanya Ivan kepada anak kecil di samping Fitri.
“Namaku Indira mas, mas ini Ivan kan?” jawab Indira.
“Iya sayang, aku Ivan, kamu kelas berapa sayang?” tanya Ivan lagi.
“Kelas enam, baru selesai ujian kelulusan,” jawab Indira dengan santai, seolah sudah akrab dengan Ivan.
“Aku doakan lulus dengan nilai bagus deh, supaya bisa seperti Mbak Fitri ini, sudah cantik...pintar lagi,” rayu Ivan. Ivan masih bisa merayu Fitri di saat seperti itu.
“Halah, kamu bisa saja Van, aku biasa saja kok. Sudahlah Ra, aku mau ngobrol dulu dengan mas Ivan, kamu main di dalam sana ya,” ucap Fitri.
“Iyach, mau melanjutkan gambar yang tadi,” kata Indira sambil masuk ke ruang tengah.
“Adik kamu lucu ya? Aku yakin dia akan lebih cantik dari kakaknya saat besar nanti,” goda Ivan kepada Fitri.
“Ya, tetap lebih cantik aku dong,” jawab Fitri tidak mau kalah. Mereka tertawa dan melanjutkan mengobrol tentang hal yang mereka sukai.
Tiga bulan kemudian...di rumah Fitri dan Indira...
“Tidak...kami tidak mau pindah!” teriak Fitri dan Indira hampir bersamaan.
“Bagaimana sayang? Papa dipindahkan kantornya ke Bandung, kita semua harus ikut...” ucap Mama.
“Pokoknya kami tetap tidak mau ikut. Titik!” kata Indira lagi.
“Biarkan kami ikut nenek saja, mama dan papa bisa pindah ke Bandung,” sahut Fitri.
“Baiklah kalau begitu, tetapi belajar yang rajin ya,” kata Mama, sementara papa hanya terdiam sedih. Hatinya tidak tega memisahkan diri dari buah hatinya. Namun, karena itulah keinginan mereka, tidak ada yang bisa dilakukan selain membiarkan kedua putrinya tinggal bersama kakek-nenek mereka.
Empat hari kemudian...di sekolah Fitri...di dalam kelas Ivan...
“Aku harus bagaimana Van? Orangtuaku akan bercerai,” ucap seorang gadis dengan suara terisak.
“Kita memang tidak ingin hal itu terjadi, tapi jika itu yang terbaik untuk mereka, kamu juga harus menerimanya dengan ikhlas. Aku harap kamu tidak membenci salah satu dari mereka,” kata Ivan mencoba mengurangi kesedihan sahabatnya.
“Tapi...ini tidak adil bagiku,” kata gadis itu lagi.
“Sudahlah, jangan begitu...bukankah kamu dulu yang menasehatiku agar tidak menjadi lembek, bahwa hidup ini keras dan harus bersabar? Buktikan kalau kamu tidak sekadar bicara, Sha!” kata Ivan kepada Keysha.
“Van, hanya kamu yang mengerti aku, hanya kamu yang ikut senang saat aku senang, yang siap meminjamkan bahumu saat aku sedih, hanya kamu sahabatku di sekolah ini, kamu benar-benar baik, Van...aku sayang padamu,” cerocos Keysha sambil memeluk Ivan.
“Iya Sha, aku juga sayang padamu, You’re my best friend I ever had,” balas Ivan. Ia mengucapkan itu untuk menenangkan sahabatnya.
Sementara itu, di depan pintu, sepasang mata melihat mereka berdua berpelukan. Pemilik mata tersebut adalah Fitri. Awalnya ia ingin masuk, namun setelah melihat pemandangan itu, dia memutuskan untuk pulang. Hatinya berkecamuk, pikirannya kacau, dan air matanya mengalir membasahi pipinya.
7 hari kemudian…di rumah Fitri…di dalam kamar Fitri…
"Benar-benar ingin ikut dengan ayah dan ibu ke Bandung, Mbak?" tanya Indira.
"Iya, aku serius!" jawab Fitri singkat.
"Lalu siapa yang akan menemaniku bermain, Mbak?" tanya Indira lagi.
"Kamu punya banyak teman, ajak saja mereka ke rumah kakek nanti…" jawab Fitri datar. Karena kesal dengan kejadian di kelas Ivan, ia tidak menyadari betapa adiknya sangat menyayanginya dan tidak ingin ia pergi. Ucapan Fitri tadi sangat menyakiti hati sang adik. Dengan langkah gontai, Indira meninggalkan kamar Fitri dan masuk ke kamarnya. Ia duduk di atas ranjang dan menangis. Ia tidak bisa memahami mengapa kakak yang ia sayangi berubah pikiran, sesuatu yang tidak ia mengerti dengan pikiran anak-anaknya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah duduk dan menangis. Sementara Fitri tidak tahu perasaan adiknya dan tetap melipat barang-barangnya ke dalam koper.
20 hari kemudian…hari pertama sekolah…di sekolah Ivan…di lorong sekolah…
"Hai Van, apa kabar? Apa oleh-olehnya dari Bali?" sapa teman-temannya.
"Cuma capek…disana semua mahal, hanya mendapatkan gantungan kunci dan foto-foto, habis tabungan untuk 2 minggu disana…" jawab Ivan dengan serius. Teman-temannya hanya tertawa. Ivan tidak ingin berlama-lama disana. Tujuannya saat itu hanya satu, kelas IIA, kelas kekasihnya, Fitri. Ia ingin memberikan hadiah yang ia bawa dari Bali. Sesampainya disana, ia mencari kekasihnya. Pandangannya menyusuri setiap sudut kelas, namun tidak menemukan Fitri. Tiba-tiba seorang gadis menyapanya.
"Sedang mencari siapa, mas Ivan?" tanya gadis itu.
"Aku mencari Fitri," jawab Ivan sambil mencari ke sekeliling.
"Fitri? Fitri tidak ada di absen, mungkin di kelas lain kali, mas."
"2 minggu yang lalu Pak Yanto mengatakan, anak-anak IA absen 1-20 masuk IIA, Fitri nomor 8, mengapa tidak ada disini?" kata Ivan tidak percaya.
"Coba lihat daftar nama dan kelas di depan kantor guru, daripada mencari satu per satu kelasnya," kata gadis itu.
"Baiklah, aku akan pergi ke ruang guru, tolong beritahu Fitri kalau dia dicari oleh Ivan," pesan Ivan.
"Tentu, aku pasti akan memberitahunya jika bertemu dengannya," janji gadis itu.
"Terima kasih ya…"
Ivan pergi ke kantor guru. Di papan pengumuman, ia mencari nama Fitri dari daftar nama dan kelas II. Namun ia tidak menemukan Fitri di daftar tersebut. Ia berpikir pasti ada kesalahan. Ia pun menanyakan ke bagian kesiswaan. Jawaban yang dia dapatkan sangat mengejutkan. Fitri pindah sekolah ke Bandung. Namun catatan tersebut tidak mencantumkan sekolah mana yang menjadi tujuan Fitri di Bandung.
Ivan sangat terpukul. Ia tidak mengerti mengapa Fitri tidak memberikan kabar kepadanya. Setiap hari… setiap bulan… tiga bulan, tidak ada kabar dari Fitri yang ia terima. Ia sudah menanyakan ke teman-teman Fitri, namun tidak ada yang tahu ke mana Fitri pindah. Teman-temannya menyarankan untuk melupakan Fitri. "Mungkin dia juga sudah melupakanmu, buktinya dia tidak memberi kabar sama sekali," kata teman-teman Ivan. Dan Fitri pun terlupakan.