
"Bisikan lembut 'Selamat tidur sayang' dari seorang ibu yang selalu kudengar setiap malam. Aku juga seorang ibu bagi anakku, dan anakku punya anaknya sendiri. Dia hanya mengucapkan selamat tidur dan pergi, namun aku selalu tinggal di sini, tak pernah pergi. Aku senantiasa menjaganya, melihatnya terlelap walaupun matanya tak pernah benar-benar tertutup, selalu ada celah di antara kelopaknya. Melihatnya mendengkur dengan halus di sela-sela tidurnya yang nyenyak, terkadang aku mendengar dia mengigau, menyebut nama-nama koleksi robotnya. Sungguh damai melihat wajahnya. Aku memang tak pernah mengucapkan selamat tidur padanya, tetapi aku selalu menemaninya, tak pernah meninggalkannya, karena aku ibunya.
Anakku semakin besar, ibunya yang sebenarnya telah meninggal dua bulan lalu. Kini aku tak pernah lagi mendengar bisikan 'selamat tidur sayang,' aku tak bisa melakukannya, namun aku selalu menjaganya, melihat matanya yang tak pernah benar-benar tertutup saat tidur, mendengarnya mendengkur. Dengkurannya tak lagi sehalus dulu, lebih berat, dia tak lagi mengigau tentang nama-nama koleksi robotnya, melainkan nama-nama yang tak ku kenal, seperti nama perempuan. Aku melihat betapa lelahnya dia menjalani hari-harinya. Ah, seandainya aku bisa mengucapkan selamat tidur kepadanya, setidaknya aku tak pernah pergi saat dia tertidur, karena aku ibunya."
Malam ini aku sendirian, anakku jarang pulang dan aku tidak tahu dimana dia berada. Aku memikirkan bagaimana jika aku bisa bergerak sedikit dan bicara sedikit, mungkinkah aku mengangkat gagang telepon itu dan bertanya padanya? Namun, takdirku tidak memungkinkan hal itu. Setiap malam berlalu tanpa kehadiran anakku, aku hanya bisa menatap kasur kosong, bersih, dan sunyi. Tidak ada lagi mata yang tidak tertutup sepenuhnya, tidak ada suara dengkuran atau mengigau, dan tidak ada wajah anakku.
Ketika ia pulang, aku melihat perubahan yang besar padanya. Wajahnya lelah dengan jambang yang tak terurus. Saat larut malam, ia hanya merenung, dan ketika akhirnya tertidur, ia masih terus mengigau dan menyebut nama perempuan, Shinta. Meskipun tidak pernah melihatnya, suaranya pernah kudengar sekali. Aku melihat kelelahan di wajah anakku dan meski ingin mengucapkan selamat tidur, aku tak bisa. Aku akan selalu ada di sini untukmu, nak, karena aku ibumu.
Anakku semakin jarang pulang, namun suatu malam dia pulang dengan membawa seorang gadis. Aku bertanya-tanya apakah gadis itu Shinta. Pertanyaanku akhirnya terjawab ketika anakku memanggil gadis tersebut dengan nama Laila. Aku pun bertanya-tanya siapa sebenarnya Laila ini dan apa hubungannya dengan Shinta. Namun, tidak ada yang memberikan jawaban atas pertanyaanku. Suasana di rumah sunyi, tidak ada suara dengkuran yang biasa aku dengar, hanya desahan Laila yang terdengar dan wajah lelah anakku yang berubah menjadi penuh keringat dengan ekspresi yang tidak aku kenali.
Aku merasa bingung dengan kedatangan banyak orang ke rumah dan menghias kamar anakku. Akhirnya aku tahu bahwa anakku akan segera menikah, dan orang-orang tadi adalah pendekor kamar pengantin. Dengan siapa anakku akan menikah, Shinta atau Laila? Aku masih tidak mendapat jawaban, namun aku yakin malam nanti segala pertanyaanku akan terjawab. Dan ternyata, anakku menikah dengan Laila. Meskipun aku tidak pernah bertemu dengan Shinta, namun aku memiliki perasaan baik tentangnya daripada Laila. Tapi sebagai seorang ibu, aku tak bisa berbuat banyak selain menerima keputusan itu.
Hari demi hari berlalu, aku mulai terbiasa dengan kehadiran Laila dan desahannya. Meskipun aku merindukan suara dengkuran anakku, namun suara Laila terus menggema di telingaku. Aku tetap di sini, menjaga anakku, walaupun ada Laila.
Suatu hari, aku terjatuh karena Laila dan anakku sedang bertengkar. Mereka menyebut-nyebut nama Shinta, sepertinya Laila cemburu dengan kehadiran Shinta. Pertengkaran itu membuatku sedih, namun aku tetap di sini, menjaga anakku. Meskipun terkadang aku merindukan saat-saat hanya aku dan anakku, tanpa kehadiran Laila. Aku tidak suka melihat mereka bertengkar, namun terkadang aku malah menanti saat-saat kepergian Laila setelah bertengkar, agar aku dan anakku bisa kembali seperti dulu, hanya kami berdua.
Tahun-tahun telah berlalu, Laila sudah tidak tinggal di sini lagi, mereka telah bercerai, entah karena Laila tidak bisa sepenuhnya memenuhi hati anakku seperti Shinta atau karena tidak pernah memberikan aku cucu, aku tidak pernah tahu. Setiap hari kami lewati berdua, aku dan anakku. Setiap malam, aku terus mendengar napasnya yang semakin berat, dan dia terus memanggil nama Shinta dalam deliriumnya. Shinta yang belum pernah aku jumpai hingga saat ini. Setiap malam, aku melihat wajah anakku yang tanpa sadar sudah mulai terlihat kerutan halus di sekitar matanya. Namun, dia tetaplah anakku, anakku yang dulu senang bermain robot-robotan di tempat tidurnya, tertawa riang, namun kadang-kadang menangis. Jika ada sesuatu yang dia inginkan tetapi tidak dipenuhi oleh ibunya, bukan aku yang biasanya mengucapkan "selamat malam sayang" dan meninggalkannya. Namun, aku adalah ibunya yang tidak pernah mengucapkan "selamat malam sayang" namun tidak pernah meninggalkannya.
Sudah lebih dari sebulan anakku tidak bangun dari tempat tidurnya, aku ingin merawatnya, namun sepertinya itu bukan takdirku. Ada seorang perawat yang merawatnya, yang setiap hari mengantarkan obat untuknya. Nak, apa penyakitmu? Mengapa kau begitu lemah. Napasnya semakin berat, terkadang diselingi dengan batuk. Dia masih memanggil nama Shinta. Shinta yang belum pernah kukenal. Aku tahu betapa anakku mencintainya. Dahulu, aku pernah mendengar anakku berbicara padanya dengan penuh semangat, sambil membawaku, namun aku tak pernah melihatnya. Meski aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Shinta, aku yakin anakku sangat mencintainya.
Seharian ini, perawatnya tak kunjung datang mengantarkan obat, kemana perawat itu? Yang datang hanya sopir anakku yang membawa makanan. Baru kemudian aku tahu bahwa perawatnya pulang kampung untuk sehari. Malam semakin larut, anakku terus batuk tanpa henti, napasnya semakin sesak. Aku melihatnya mencoba meraih gelas di sampingku, namun tangannya tak mampu mencapainya, aku ingin menolongnya namun aku tak berdaya. Mengapa tak ada yang datang membantunya? Aku merasa gagal menjaganya, tak ada yang bisa aku lakukan, karena itulah takdirku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, bahkan hal-hal yang selama ini aku anggap sebagai menjaganya, tak berarti apa-apa, karena aku tak pernah bertindak.
Batuknya berhenti, napasnya semakin berat. Kemudian saya menyadari suasana semakin sunyi, tidak ada lagi suara dengkuran, igauan, atau napas berat. Untuk pertama kalinya, matanya benar-benar tertutup. Saya ingin menangis, tetapi saya tidak bisa. Saya hanya seorang ibu yang tidak pernah bisa mengucapkan selamat tidur, tapi juga tidak pernah meninggalkannya.
"Mamaaa"
"Iya sayang," jawab seorang ibu kepada anaknya yang menunjuk sesuatu.
"Aku mau itu," katanya sambil menunjuk lampu tidur berbentuk hati.
"Untuk apa sayang?"
"Shinta bilang lampu tidur bisa menjaga kita saat tidur, Ma. Jadi, supaya aku berani tidur sendirian, Mama harus membelikan aku lampu tidur. Aku anak laki-laki, juga anak tunggal, harus tidur sendiri."
"Yakin kamu berani?"
"Aku harus seperti almarhum ayah yang pemberani, Ma. Tapi, aku akan berani kalau ada lampu itu. Dia pasti menjagaku seperti Mama menjagaku."
Anak kecil itu berlari ke kasir, memeluk sebuah lampu tidur berbentuk hati. Di perjalanan pulang, senyumnya sangat cerah. Sesampai di depan rumahnya, dia teriak memanggil temannya.
"Shinta"
"Apa?" seorang gadis kecil keluar dari rumahnya dan mendekatinya.
"Aku sudah beli lampu tidur."
"Mana? Lihat."
"Tidak boleh. Rahasia dong."
Dia berlari ke rumahnya, tepat di sebelah rumah gadis kecil tadi. Sesampainya di rumah, dia meletakkan lampu itu di samping tempat tidurnya. Lampu itu selalu hidup, tidak pernah mati kecuali saat mati listrik. Lampu itu tidak pernah rusak, bahkan setelah terjatuh sekali. Seperti ibu yang selalu menjaganya, lampu itu terus menyala hingga akhir hayatnya. Semua seakan-akan lampu itu menjaganya seperti seorang ibu menjaga anaknya.