Menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, hasil penelitian kesehatan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa perilaku dan pengetahuan masyarakat memiliki dampak signifikan terhadap kasus gizi kurang. "Data lain menunjukkan bahwa tingkat pendidikan juga berperan dalam prevalensi gizi kurang," ujar Nafsiah pada Selasa (20/11/12). Menkes Nafsiah mengakui bahwa masalah gizi kurang menjadi perhatian utama pemerintah, meskipun kasusnya terus mengalami penurunan dan diharapkan dapat terus berkurang untuk mencapai target Pembangunan Millenium atau MDGs.
Menkes menjelaskan bahwa, "permasalahan gizi yang masih belum terselesaikan adalah stunting dan gizi kurang. Pada tahun 2010, prevalensi stunting pada anak mencapai 35,6%, artinya satu dari tiga anak menderita stunting. Sementara itu, prevalensi gizi kurang telah menurun dari 31% (1989) menjadi 17,9% (2010). Target MDGs untuk mengurangi prevalensi gizi kurang menjadi 15,5% pada tahun 2015 diperkirakan dapat tercapai."
Menurut provinsi, disparitas masalah gizi masih sangat luas. Ada provinsi-provinsi yang telah mengalami kemajuan pesat dalam menurunkan tingkat prevalensi gizi kurang, namun ada juga provinsi-provinsi yang masih memiliki tingkat prevalensi yang tinggi.
Selain stunting dan gizi kurang, masalah gizi lainnya adalah kekurangan vitamin A, GAKI, dan anemia pada anak usia 2-5 tahun. Penanggulangan GAKI sudah dilakukan sejak tahun 1994 melalui program wajib penggunaan garam beriodium. Data menunjukkan bahwa gangguan akibat kekurangan iodin tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Prevalensi anemia pada anak usia 2-5 tahun juga mengalami penurunan dari 51,5% pada tahun 1995 menjadi 17,6% pada tahun 2011.
Namun, masalah gizi yang kini dapat mengancam kesehatan masyarakat adalah gizi lebih. Prevalensi gizi lebih pada anak dan dewasa terus meningkat setiap tahunnya. Pola makan yang tidak seimbang menjadi faktor risiko utama penyakit degeneratif."
Posting Komentar