Tampilkan postingan dengan label Wisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wisata. Tampilkan semua postingan

Pacu Jalur di Kuantan Singingi warisan budaya yang telah ada sejak zaman dulu

|| || || Leave a komentar

Pacu Jalur merupakan salah satu acara wisata yang menjadi kebanggaan Provinsi Riau, terutama Kabupaten Kuantan Singingi. Meskipun ada yang membandingkannya dengan Dayung Perahu Naga, namun sebenarnya keduanya memiliki keunikan tersendiri. Pacu Jalur memiliki ritual mulai dari pencarian pohon besar untuk perahu, proses pembuatan, hingga perlombaan di gelanggang pacu. Acara wisata tradisional ini telah menarik perhatian dunia, dengan peserta dari luar negeri turut serta dalam setiap penyelenggaraannya.

Asal Usul dan Perkembangan
Kuantan Singingi, sebagai bagian dari Provinsi Riau, memiliki banyak sungai yang membuat transportasi menjadi penting bagi masyarakatnya. Dari sinilah muncul jalur-jalur yang dihias dengan ukiran indah seperti kepala ular, buaya, atau harimau. Selain sebagai alat transportasi, jalur juga menjadi simbol status sosial bagi penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk. Lama kelamaan, jalur tidak hanya digunakan sebagai alat angkut dan simbol status, tetapi juga diadu kecepatannya melalui lomba yang dikenal sebagai "Pacu Jalur". Acara ini telah berkembang selama kurang lebih 100 tahun, menunjukkan evolusi dari fungsi jalur yang semakin kompleks dan menarik perhatian banyak orang.

Pada awalnya, perlombaan pacu jalur diadakan di kampung-kampung sepanjang Sungai Kuantan untuk merayakan hari besar dalam agama Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau Tahun Baru 1 Muharam. Saat itu, tidak semua lomba memberikan hadiah kepada para peserta. Beberapa kampung memberikan hadiah, sementara yang lain tidak. Lomba tanpa hadiah biasanya diakhiri dengan acara makan bersama, dimana makanan tradisional setempat disajikan, seperti konji, godok, lopek, paniaran, lida kambing, dan buah golek. Lomba yang memberikan hadiah harus menyediakan empat buah marewa dengan ukuran berbeda-beda. Pemenang pertama akan mendapatkan marewa terbesar, sementara pemenang terakhir akan mendapatkan yang terkecil. Saat ini, hadiah biasanya berupa hewan ternak seperti sapi, kerbau, atau kambing.

Ketika Belanda mulai hadir di daerah Riau sekitar tahun 1905, terutama di Kota Teluk Kuantan, mereka memperkenalkan pacu jalur sebagai cara baru untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus setiap tahun. Hal ini mengubah fokus pacu jalur dari perayaan hari raya Islam menjadi perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina. Sehingga, sebagian penduduk Teluk Kuantan menganggap perayaan HUT Ratu Wilhelmina sebagai awal tahun baru. Oleh karena itu, hingga saat ini ada yang menyebut kegiatan pacu jalur sebagai pacu tambaru. Meskipun sempat terhenti saat masa pendudukan Jepang, pacu jalur kembali diadakan secara rutin setelah kemerdekaan Indonesia untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus.

Pemain Pacu Jalur
Pacu jalur hanya dilakukan oleh para pria yang berusia antara 15--40 tahun secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri antara 40--60 orang (tergantung dari panjang jalur). Anggota dalam sebuah jalur disebut anak pacu, terdiri dari: tukang kayu, tukang concang (komandan, pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang onjai (pemberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan), dan tukang tari yang membantu tukang onjai memberikan tekanan yang seimbang agar jalur bergerak secara teratur dan berirama. Selain pemain, dalam lomba pacu jalur juga terdapat wasit dan juri yang bertugas mengawasi jalannya perlombaan dan menentukan pemenang.

Tempat Permainan Pacu Jalur
Pacu jalur biasanya dilakukan di Sungai Batang Kuantan. Sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Sungai Batang Kuantan yang berada antara Kecamatan Hulu Kuantan di hulu dan Kecamatan Cerenti di hilir, sudah lama digunakan sebagai jalur pelayaran sejak awal abad ke-17. Dan, di sungai ini pula pertama kali lomba pacu jalur diselenggarakan. Arena lomba pacu jalur mengikuti aliran Sungai Batang Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km yang ditandai dengan tiga tiang pancang.

Peralatan Permainan Pacu Jalur
Peralatan dalam pacu jalur tentu saja adalah jalur yang terbuat dari batang kayu utuh, tanpa ada yang dibelah, dipotong, atau disambung. Panjang jalur berkisar antara 25--30 meter, dengan lebar ruang bagian tengah 11,25 meter. Bagian-bagian jalur terdiri dari: 

(1) haluan; 

(2) telinga depan; 

(3) tempat duduk; 

(4) lambung; 

(5) tempat menimba air; 

(6) telinga belakang; 

(7) tempat pengemudi; 

(8) pegangan tukang onjor; 

(9) bibit jalur; 

(10) tempat duduk pedayung; 

(11) ujung jalur berukir; dan 

(12) gayung air. Jalur juga dilengkapi dengan sebuah dayung untuk setiap pemain.

Bagian selembayung dan tepi badan jalur biasanya dihiasi dengan ukiran dan warna-warni yang mencolok. Motifnya bervariasi, mulai dari sulur-suluran, geometris, ombak, burung, hingga pesawat terbang. Setiap jalur memiliki nama yang unik seperti Naga Sakti, Gajah Tunggal, Rawang Udang, Kompe Berangin, Bomber, Pelita, Orde Baru, Raja Kinantan, Kibasan Nago Liar, Singa Kuantan Sungai Pinang, Dayung Serentak, Keramat Jati, Panggogar Alam, Tuah di Kampuang Godang di Rantau, Ratu Dewa, dan lainnya. Tujuan dari ukiran, warna, dan pemberian nama pada setiap jalur tersebut adalah agar terlihat berbeda dari yang lain.

Untuk membuat sebuah jalur lomba yang mewakili desa, kecamatan, atau kabupaten, dibutuhkan proses yang panjang dan melibatkan banyak orang. Proses pembuatan jalur dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Berikut adalah tahapan yang harus dilalui dalam pembuatan sebuah perahu yang disebut jalur oleh masyarakat Kuantan Singingi.

Pertama-tama, rencana pembuatan jalur disusun melalui musyawarah atau rapat kampung yang dihadiri oleh berbagai elemen seperti pemuka adat, cendekiawan, kaum ibu, dan pemuda. Rapat dipimpin oleh seorang pemuka desa atau pemuka adat. Setelah mencapai kesepakatan, langkah berikutnya adalah memilih jenis kayu yang akan digunakan. Pohon yang dicari harus berjenis banio atau kulim kuyiang, dengan panjang antara 25-30 meter dan garis tengah 1½-2 meter. Selain kuat dan tahan air, kedua jenis pohon tersebut dipercayai memiliki "penunggu". Setelah pohon yang sesuai dipilih, dilakukan proses penebangan. Sebelumnya, dilakukan upacara persembahan kepada "penunggu" pohon untuk meminta pertolongan agar pohon tidak hilang secara gaib.

Kayu yang sudah diolah oleh pawang, kemudian ditebang menggunakan kapak dan beliung. Setelah itu, kayu dipotong ujungnya sesuai dengan panjang jalur yang akan dibuat. Setelah kedua ujungnya dipotong, kayu dikupas kulitnya dan diukir pada bagian haluan, telinga, dan lambung. Setelah jalur terbentuk, langkah berikutnya adalah meratakan bagian depan, yaitu bagian atas kayu dari pangkal hingga ujung. Tahap selanjutnya adalah mencaruk atau melubangi dan menghaluskan bagian dalam kayu dengan ketebalan yang sesuai.

Kemudian, jalur digali dan ditegakkan kembali untuk dibentuk dan dihaluskan. Proses ini membutuhkan perhitungan yang teliti agar ketebalan jalur tetap seimbang saat di air. Pengukuran dilakukan dengan membuat lubang-lubang bor yang kemudian ditutup dengan pasak. Setelah jalur terbentuk, jalur dibalikkan dan dilanjutkan dengan pembuatan haluan dan kemudi. Setelah haluan dan kemudi selesai, jalur akan dibawa ke kampung untuk diasapi dan diikuti dengan upacara maelo jalur. Sebelum jalur diluncurkan ke sungai, dilakukan upacara lain untuk memastikan jalur dapat berlayar dengan baik di air.

Pacu Jalur adalah jenis perlombaan yang terbagi menjadi beberapa tingkatan di Kuantan Sengingi, mulai dari pacu antarbanjar hingga pacu antarkecamatan. Aturan permainannya cukup sederhana, yaitu regu yang pertama kali mencapai garis finish dianggap sebagai pemenang. Perlombaan ini biasanya menggunakan dua sistem, yaitu setengah kompetisi dan sistem gugur untuk menentukan pemenang pertama hingga keempat serta sepuluh besar.

Perlombaan dimulai dengan bunyi meriam sebagai tanda start. Meriam digunakan karena suara peluit tidak akan terdengar di arena pacu yang luas dengan banyak penonton. Setelah regu mempersiapkan diri di garis start, mereka bersiap untuk mengayuh dayung saat meriam kedua dibunyikan. Kemudian, setiap regu akan berlomba mendayung melalui jalur lintasan yang telah ditentukan. Ukuran jalur, kapasitas, dan jumlah peserta tidak menjadi masalah, karena keberhasilan dalam pacu jalur lebih dipengaruhi oleh kekuatan magis kayu jalur dan kesaktian sang pawang dalam mengendalikan jalur.

Dalam kompetisi pacu jalur, jika menggunakan sistem eliminasi, peserta yang kalah tidak diizinkan untuk berpartisipasi lagi. Sebaliknya, para pemenang akan terus bersaing untuk menentukan juara utama. Namun, jika menggunakan sistem kompetisi setengah, setiap tim akan bertanding beberapa kali dan tim yang berhasil memenangkan setiap pertandingan hingga akhir akan menjadi juara.

Nilai budaya yang terkandung dalam pacu jalur adalah kerja keras, ketangkasan, keuletan, kerja sama, dan sportivitas. Semangat kerja keras terlihat dari usaha para pemain untuk memastikan jalur mereka selalu di depan. Ketangkasan dan keuletan tercermin dari teknik yang mereka gunakan untuk menjalankan jalur dengan cepat dan tanpa hambatan. Kerja sama tim terlihat dari upaya bersama dalam mengendalikan jalur agar mencapai kemenangan. Sportivitas bukan hanya terlihat dari sikap fair play saat bertanding, tetapi juga dalam menerima kekalahan dengan lapang dada.

Jalur adalah sebuah perahu yang pada abad ke-17 digunakan sebagai sarana transportasi utama oleh penduduk desa di Rantau Kuantan sepanjang Sungai Batang Kuantan. Pada masa itu, jalur menjadi alat penting bagi penduduk desa untuk mengangkut hasil pertanian seperti pisang dan tebu, serta untuk mengangkut penumpang hingga sekitar 40 orang. Di sisi lain, Marewa adalah sebuah bendera kain berbentuk segitiga yang berwarna-warni dan dihiasi dengan hiasan renda di tepinya.

Air Terjun Kuansing adalah destinasi wisata alam yang menakjubkan

|| || || Leave a komentar

Kabupaten Kuantan Singingi terletak di kisaran 1010 - 1020 BT dan 00 - 10 LS, dengan luas wilayah sekitar 7.656,03 km2. Awalnya terdiri dari enam kecamatan definitif, yaitu Kuantan Mudik, Kuantan Tengah, Singingi, Benai, Kuantan Hilir, dan Cerenti. Saat ini jumlah kecamatan definitif telah meningkat menjadi 12 kecamatan. Wilayah ini terletak sekitar 160 km di sebelah selatan Pekanbaru, dengan topografi perbukitan yang memiliki ketinggian beragam, mencapai puncak tertinggi 804 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah ini terdiri dari perbukitan, namun juga memiliki dataran sungai karena adanya Sungai Kuantan, Sungai Teso, dan Sungai Singingi yang mengalir di sekitar wilayah ini.

Kuantan Singingi memiliki potensi pariwisata yang besar, baik dari segi alam maupun sejarah. Salah satu potensi wisata yang sangat populer di kalangan masyarakat adalah pacu jalur. Acara pacu jalur terbesar biasanya diadakan sekali setahun, sebagai peringatan hari kemerdekaan Indonesia di Tepian Narosa, Teluk Kuantan. Namun, masih banyak potensi lain yang belum dimanfaatkan sepenuhnya, seperti wisata alam, upacara adat, kesenian rakyat, dan peninggalan sejarah. Pada tanggal 8 Juli 2008, Riau Pos mengunjungi beberapa objek wisata alam di Kuantan Singingi, antara lain Danau Rawang Udang di Desa Talontam Kecamatan Benai, air terjun Guruh Gemurai di Desa Kasang Kecamatan Kuantan Mudik, dan air terjun tujuh tingkat di Desa Lubuk Ambacang Kecamatan Hulu Kuantan.

Danau Rawang Udang dulunya merupakan rawa-rawa yang dialiri sungai kecil. Namun, setelah dibangun bendungan, terbentuklah danau kecil. Di sini pengunjung dapat menaiki perahu fiber dan menikmati dua bangunan di tengah danau. Tempat ini biasanya ramai dikunjungi saat hari libur, namun pada hari biasa hanya sedikit masyarakat yang menaiki perahu. Jalanan menuju kawasan ini melewati jembatan yang melintasi Sungai Kuantan dari Pasar Benai. Di sepanjang jalan terlihat persawahan dan pemukiman penduduk yang menambah keindahan panorama alam.

Air Terjun Guruh Gemurai terletak di Desa Kasang, Kecamatan Kuantan Mudik, sekitar 10 km dari pasar Lubuk Jambi. Kawasan ini berada di perbatasan Sumatera Barat dan Riau, di hutan lindung Bukit Betabuh. Sayangnya, hutan yang dulu indah dengan bukit-bukit curam kini telah hilang, digantikan oleh kebun karet hasil penebangan liar oleh masyarakat.

Saat ini, jalan menuju air terjun sedang dalam tahap perbaikan dan pelebaran. Beberapa jalan mendaki sudah mulai diperbaiki. Namun, saat hujan, mobil tidak akan bisa masuk karena jalan yang licin. Perjalanan sekitar 2 km dari jalan nasional melalui hutan yang ditanami karet berusia 2-7 tahun.

Ketika sampai di lokasi, akan ada balai-baali untuk beristirahat sejenak sambil menikmati panorama alam pedesaan dan Sungai Kuantan yang berliku-liku. Setelah satu kilometer lagi, kita akan tiba di Air Terjun Guruh Gemurai. Suara gemuruh air terjun terdengar jelas dari kejauhan, seolah-olah sedang turun hujan lebat. Letih dari perjalanan akan hilang saat kita menghirup udara segar di antara pepohonan yang masih lestari di sekitar air terjun.

Di lokasi ini, terdapat tangga beton yang memudahkan turun ke kolam di bawah air terjun. Ada dua air terjun, dengan yang utama memiliki ketinggian hampir dua puluh meter. Di kolam air terjun utama, pengunjung dapat menikmati mandi di antara air yang sejuk, diiringi gemerisik air yang mengalir di antara bebatuan besar dan pepohonan yang rindang.

Di sebelah kiri menjelang air terjun, terdapat sejumlah pekerja yang sedang sibuk beraktivitas. Menurut Kepala Dinas Pariwisata, Kesenian, dan Budaya Kuansing, Drs Syafrinal MSi, saat ini sedang dilakukan pembangunan fasilitas parkir kendaraan dan musala di lokasi tersebut. "Kami sedang melakukan peningkatan dan penyempurnaan fasilitas di area wisata, tahun ini fokusnya adalah Air Terjun Guruh Gemurai, sementara tahun depan akan beralih ke Air Terjun Tujuh Tingkat," ujar Syafrinal.

Air Terjun Tujuh Tingkat Batang Koban di Desa Lubuk Ambacang, Kecamatan Hulu Kuantan, merupakan salah satu air terjun yang indah dan tertinggi di Kuansing. Lokasi ini dapat dicapai melalui perjalanan darat dan dilanjutkan dengan menggunakan perahu selama sekitar 15 menit ke arah hulu sungai.

Dari pasar Lubuk Jambi menuju Desa Lubuk Ambacang, perjalanan dengan kendaraan memakan waktu sekitar 20 menit dengan kondisi jalan beraspal. Alternatif lain adalah melalui Desa Jake, simpang pos polisi ke Desa Serosah, Mudiak Ulo, lalu ke Desa Koto Kombu melalui jalan tanah dengan waktu tempuh sekitar 40 menit.

Saat menuju Desa Lubuk Ambacang, dari Koto Kombu kita akan melintasi jembatan beton di atas Sungai Kuantan. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan perahu yang mampu menampung sekitar 15 hingga 25 orang, dapat ditemukan di bawah jembatan atau di Pasar Lubuk Ambacang dengan tarif sewa Rp150 ribu.

Perjalanan di sungai ke arah hulu memakan waktu sekitar 15 menit. Selama perjalanan, kita dapat menikmati keindahan pepohonan di antara bukit dengan ketinggian berkisar antara 45 hingga 70 derajat. Semakin ke arah hulu, sungai menjadi lebih sempit dan arusnya semakin deras.

Tak jauh dari jembatan, kita akan melewati Pulau Tempurung. Di sini, air membentuk lengkungan yang menyerupai tempurung. Meskipun dari kejauhan terlihat tenang, namun arusnya cukup deras saat Sungai Kuantan surut. Boat harus melaju pelan-pelan di tepi tebing dan di antara bebatuan. Namun jika air cukup dalam, arusnya tidak terlalu kuat dan boat dapat melaju di tengah sungai.

Setelah melintasi sungai, kita tiba di lokasi dengan dermaga yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten beberapa tahun yang lalu. Jembatan kayu melintang di atas sungai yang mengalir menuju air terjun tujuh tingkat. Dari dermaga ini, kita bisa melihat air terjun pertama yang gemuruhnya terdengar jelas dari muara sungai. Perjalanan dari air terjun pertama hingga keempat dapat dilalui dengan menyusuri tebing terjal melalui tangga beton di antara pepohonan yang hijau. Suasana sejuk dan nyaman terasa di sekitar kita, semilir angin dari air terjun membuat kita betah berlama-lama di sana.

Bambang Wahyu Jatmiko, produser dan pimpinan Mara Studio, bersama dua rekannya, Rudi dan Anto, berkunjung untuk mengambil gambar latar belakang video klip dan pembelajaran Rarak Godang Kuantan Singingi. Mereka berharap agar keindahan alam di kawasan tersebut tetap terjaga dan bisa dinikmati oleh masyarakat. Maraknya illegal logging belakangan ini telah merusak hutan alam. Hutan lindung seperti di Bukit Betabuh, tempat air terjun guruh gemurai berada, juga tidak luput dari kerusakan. Hanya hutan di sekitar air terjun yang masih utuh, sedangkan yang lain telah ditebang dan diganti dengan tanaman karet.

Dengan lincah mereka mengambil foto-foto dari berbagai sudut. Kamera mereka diarahkan pada setiap bagian air terjun yang memancarkan air ke bawah. Setelah menikmati dan mengabadikan air terjun tingkat pertama dan keempat yang memiliki ketinggian berbeda, antara 5-15 meter, petualangan dilanjutkan.

Di sinilah awal dari petualangan yang menarik, saat kita melewati tingkat keempat hingga tingkat ketujuh. Setiap pengunjung harus berjalan di antara tebing yang curam dengan kemiringan antara 45 hingga 85 derajat. Bagi para pecinta alam, tantangan semacam ini merupakan kesempatan yang menyenangkan untuk merasakan sensasi adrenalin.

Mendaki di antara tebing dan melompati akar-akar pohon cukup menguras tenaga. Jarak antara air terjun berkisar antara 50-100 meter. Meskipun melewati medan yang menantang, pengunjung tidak akan merasa bosan. Setiap air terjun memiliki keunikan dan keindahan tersendiri.

Setelah melewati air terjun keenam, tidak jauh dari sana terdapat air terjun terbaik, dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Yang membuat terkesima adalah kolam air terjun ini mencerminkan dua lengkungan pelangi, ciptaan cahaya matahari yang memantul dari percikan air terjun yang disertai hembusan angin kencang.

Kami hanya sampai di kolam air terjun ketujuh. Karena beratnya perjalanan dan demi mengurangi risiko beberapa dari kami terpeleset dan terjepit di antara batu-batu besar sehingga mengakibatkan memar pada kaki, seperti yang dialami Anto, kru Mara Studio yang harus berjalan tersendat akibat kaki yang memar kami hanya menikmati keindahan air terjun dari bawah.

Pengalaman ini berbeda dengan petualangan Riau Pos pada tahun 1995. Saat itu, Riau Pos berhasil mencapai puncak tertinggi. Namun, itu semua tidak didapat dengan mudah, melainkan dengan perjuangan yang melelahkan, mendaki di antara bebatuan terjal. Sedikit kesalahan saja dapat membuat seseorang jatuh puluhan meter ke bawah. Dari ketinggian itu, jika melihat ke bawah, di kolam air terjun ketujuh terlihat pelangi yang selalu hadir dengan bentuk melingkar.

Menurut cerita dari Eri, seorang penduduk Desa Lubuk Ambacang yang bekerja sebagai penyewa boat menuju air terjun, kawasan ini hampir setiap hari ramai dikunjungi oleh masyarakat. Menurut Eri, puncak keramaian terjadi saat acara mandi balimau yang diselenggarakan satu hari sebelum bulan Ramadan. "Saat acara mandi balimau, jumlah pengunjung mencapai hampir seribu orang," kata Eri.

Biasanya, pada hari-hari biasa, hanya ada dua boat yang disewa, namun saat acara mandi balimau, ada tujuh boat yang siap mengantar pengunjung. Boat tersebut dapat menampung 15 hingga 25 penumpang. Menurut Eri, setiap boat harus melakukan delapan perjalanan bolak-balik untuk menjemput penumpang di bawah jembatan Lubuk Ambacang.