Guru kecil dari anak-anakku

|| || || Leave a komentar


Di Arab Saudi, ada cerita yang sangat menyentuh hati tentang seorang gadis kecil yang telah diberkahi oleh Allah sejak lahir. Cerita ini begitu mengharukan sehingga dapat dijadikan bahan renungan dan mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Cerita ini diceritakan dari sudut pandang seorang ibu yang merupakan orang tua dari gadis kecil tersebut.

Ketika saya sedang mengandung putri saya, Afnan, ayah saya bermimpi melihat burung pipit terbang di langit. Dalam mimpi tersebut, terdapat seekor merpati putih yang indah terbang tinggi di antara burung-burung pipit tersebut. Setelah saya bertanya kepada ayah tentang arti mimpi tersebut, beliau menyatakan bahwa burung pipit tersebut melambangkan anak-anak saya, dan saya akan melahirkan seorang gadis berakhlak mulia. Meskipun tidak memberikan penjelasan yang lengkap, saya tidak meminta tafsir lebih lanjut.

Kemudian, saya melahirkan putri saya, Afnan. Ternyata, dia benar-benar seorang gadis yang berakhlak mulia. Bahkan sejak kecil, saya melihatnya sebagai seorang wanita shalihah. Dia tidak pernah mau mengenakan celana atau pakaian pendek, dan akan menolak dengan tegas. Bahkan saat masih kecil, jika saya mengenakan rok pendek padanya, ia akan mengenakan celana panjang di bawah rok tersebut.

Afnan selalu menjauhi segala hal yang dapat membuat murka Allah. Sejak duduk di kelas 4 SD, dia semakin menjauhi hal-hal yang dapat membuat murka Allah. Dia menolak untuk pergi ke tempat-tempat hiburan atau ke acara walimah. Gadis ini teguh memegang agamanya, sangat mencintainya, menjaga shalat dan sunnahnya. Ketika dia sudah sampai di SMP, dia mulai berdakwah kepada agama Allah. Dia tak pernah melihat kemungkaran tanpa menentangnya, memerintahkan kebaikan, dan selalu menjaga auratnya. Awal dari dakwahnya kepada agama Allah dimulai saat pembantu kami yang berasal dari Srilangka masuk Islam.

Saat saya sedang hamil putra saya, Abdullah, saya harus mempekerjakan seorang pembantu untuk merawatnya saat saya tidak ada di rumah karena saya bekerja. Pembantu itu beragama Nashrani. Ketika Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut bukan muslimah, dia marah dan datang kepada saya sambil berkata: "Bu, bagaimana dia bisa menyentuh pakaian kita, mencuci piring kita, dan merawat adikku, padahal dia seorang wanita kafir?! Saya siap meninggalkan sekolah dan melayani kalian selama 24 jam, jangan biarkan wanita kafir menjadi pembantu kita!!"

Aku tidak terlalu memikirkannya, karena aku sangat membutuhkan bantuan dari pembantu itu. Hanya dua bulan kemudian, pembantu itu datang kepada ku dengan senang hati sambil berkata, "Mama, aku sekarang telah menjadi seorang muslimah, karena bantuan Afnan yang senantiasa memberikan dakwah kepadaku. Dia telah mengajarkan keislaman kepadaku." Aku merasa sangat bahagia mendengar kabar baik tersebut.

Ketika Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya meminta agar Afnan hadir dalam pesta pernikahannya. Ia memaksa Afnan untuk datang, mengancam bahwa ia tidak akan pernah ridha kepadanya seumur hidup jika Afnan menolak. Akhirnya, Afnan menyetujui permintaan tersebut setelah mendapat tekanan yang sangat besar, juga karena ia sangat mencintai pamannya.

Afnan bersiap-siap untuk menghadiri pernikahan tersebut. Ia mengenakan gaun yang menutupi seluruh tubuhnya. Gadis itu sangat cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terpesona dengan keindahannya. Semua orang terkesima dan bertanya-tanya, siapakah gadis cantik ini? Mengapa kau menyembunyikannya dari kami selama ini?

Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan tiba-tiba didiagnosis menderita kanker tanpa sepengetahuan kami. Rasa sakit yang luar biasa di kakinya mulai terasa. Meskipun begitu, dia mencoba untuk menyembunyikan keadaannya dengan mengatakan bahwa itu hanya "sakit ringan di kakinya." Namun, setelah satu bulan berlalu, dia mulai kesulitan berjalan dan ketika kami bertanya kepadanya, dia tetap bersikukuh bahwa itu hanyalah "sakit ringan yang akan segera hilang, insya Allah." Akhirnya, saat dia sudah tidak mampu berjalan, kami akhirnya membawanya ke rumah sakit.

Setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan diagnosa yang diperlukan, kami semua dipanggil oleh dokter Turki bersama seorang penerjemah dan seorang perawat yang bukan beragama Islam ke dalam salah satu ruangan rumah sakit. Afnan terbaring lemah di atas ranjang.

Dokter kemudian memberitahu kami bahwa Afnan mengidap kanker di kakinya dan akan menjalani tiga kali suntikan kimiawi yang akan menyebabkan rambut dan alisnya rontok. Kabar ini membuat kami terkejut dan menangis. Namun, Afnan justru merespon dengan penuh syukur, berkata "Alhamdulillah... alhamdulillah... alhamdulillah." Dia bahkan menenangkan kami dengan berkata bahwa ini hanyalah ujian yang diberikan Allah kepadanya, bukan atas agamanya.

Aku mendekap Afnan erat di dadaku sambil meneteskan air mata. Dia mengulang kembali rasa syukurnya, "Wahai ummi, alhamdulillah, musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku."

Seorang gadis kecil bertahmid dengan suara keras, sementara semua orang memandangnya dengan kagum! Aku merasa kecil saat melihat kekuatan iman gadis kecilku ini, sementara aku merasa imanku masih lemah. Terkesan dengan kejadian ini, semua orang yang bersama kami, termasuk penerjemah dan para perawat, menyatakan keislaman mereka!

Kemudian, gadis kecil itu memulai perjalanan untuk berobat sambil berdakwah kepada Allah. Sebelum dia mulai pengobatan dengan obat-obatan kimia, pamannya ingin memotong rambutnya yang mulai rontok. Namun, gadis kecil itu menolak dengan tegas. Aku mencoba memberinya pengertian untuk memenuhi keinginan pamannya, namun dia bersikeras dan berkata, "Aku tidak ingin kehilangan pahala bergugurannya setiap helai rambut dari kepalaku."

Kami berangkat ke Amerika untuk pertama kalinya dengan pesawat terbang. Ketika kami tiba, kami disambut oleh seorang dokter wanita Amerika yang pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun dan bisa berbicara bahasa Arab. Ketika gadis kecil melihat dokter itu, dia bertanya, "Apakah Anda seorang muslimah?" Dokter itu menjawab, "Tidak."

Afnanpun diminta untuk pergi bersamanya ke sebuah kamar kosong. Dokter wanita itu membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu, dokter wanita itu mendatangiku sambil air mata berlinang di matanya. Dia mengungkapkan bahwa selama 15 tahun di Saudi, tidak seorang pun pernah mengajaknya kepada Islam. Namun, kemudian datanglah seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya, dia memeluk Islam melalui bantuan gadis kecil tersebut.

Di Amerika, berita tersebar bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan melakukan amputasi pada kakinya, karena kanker yang dideritanya dikhawatirkan akan menyebar ke paru-paru. Afnan tidak merasa takut terhadap amputasi, yang membuatnya khawatir adalah perasaan kedua orangtuanya.

Suatu hari, Afnan berbicara dengan seorang temanku melalui Messenger. Dia bertanya, "Apakah sebaiknya aku menyetujui amputasi kakiku?" Temanku mencoba menenangkannya, menyarankan agar dia menggunakan kaki palsu sebagai gantinya. Namun, Afnan dengan tegas menjawab, "Aku tidak peduli dengan kakiku, yang aku inginkan adalah dapat dimasukkan ke dalam kubur sementara aku dalam keadaan sempurna." Temanku mengaku, "Setelah mendengar jawaban Afnan, aku merasa rendah di hadapannya. Aku tidak bisa memahami kedalamannya, pikiranku hanya sampai pada bagaimana dia akan hidup, sedangkan fokus Afnan jauh lebih dalam, yaitu bagaimana dia akan menghadapi kematian."

Kami kembali ke Saudi setelah amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba kanker menyerang paru-parunya! Keadaannya sangat menyedihkan, diletakkan di atas ranjang dengan tombol di sampingnya. Dengan menekan tombol itu, dia akan disuntik bius dan infus.
Tak ada suara adzan di rumah sakit, dan dia tampak seperti koma. Namun, dia bangun saat waktu shalat, meminta air, berwudhu, dan shalat tanpa ada yang membangunkannya!
Dokter memberitahu kami bahwa tak ada gunanya lagi ia di rumah sakit. Dua hari lagi, dia akan meninggal. Aku ingin dia menghabiskan waktu terakhirnya di rumah ibuku.
Dia tidur di kamar kecil di rumah, aku duduk di sisinya dan berbicara dengannya.

Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku mengatakan bahwa dia sedang beristirahat di dalam kamar. Begitu dia masuk ke dalam, dia terkejut dan segera menutup pintu. Aku merasa gelisah dan khawatir terhadap Afnan. Aku bertanya padanya, tapi dia tidak memberi jawaban. Rasa khawatir semakin memuncak, sehingga aku pun buru-buru menghampirinya. Saat aku membuka pintu kamar, pemandangan yang aku lihat benar-benar membuatku terkesima. Lampu dalam keadaan mati, namun wajah Afnan bersinar di tengah kegelapan malam. Dia menatapku dan tersenyum, lalu berkata, "Ummi, ayo duduk. Aku punya mimpi yang ingin kuceritakan."

Aku menjawab, "Semoga mimpi yang baik, nak." Afnan melanjutkan, "Aku bermimpi menjadi pengantin di hari pernikahanku. Aku mengenakan gaun putih yang indah, dan disana kalian semua, keluarga dan teman-temanku, bahagia menyaksikan pernikahanku. Namun, engkau, ummi, terlihat sedih."

Aku bertanya padanya, "Apa pendapatmu mengenai mimpi itu?" Afnan menjawab dengan tenang, "Aku merasa bahwa mungkin suatu saat aku akan pergi, dan semua orang akan melupakan aku. Mereka akan melanjutkan kehidupan mereka dengan bahagia, kecuali engkau, ummi. Engkau yang akan terus mengingatku dan meratapi kepergianku."

Benarlah apa yang Afnan katakan. Sampai saat ini, ketika aku mengingat kisah ini, rasa sedih masih membekas di hatiku. Setiap kenangan akan Afnan membuatku terharu dan penuh rindu.

Pada suatu hari, aku duduk di dekat Afnan bersama ibuku. Saat itu, Afnan sedang berbaring di atas ranjangnya dan tiba-tiba terbangun. Dengan lembut dia meminta ibuku mendekat, lalu menciumnya. Kemudian, dia berkata, "Aku juga ingin mencium pipimu yang kedua." Aku pun mendekat dan dia menciumku, sebelum kembali berbaring.

Ibuku menyarankan Afnan untuk mengucapkan kalimat tauhid, "La ilaaha illallah." Afnan pun menghadap ke arah kiblat, mengucapkannya sebanyak 10 kali. Dia melanjutkan dengan kalimat syahadat, "Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah," sebelum akhirnya meninggalkan dunia ini.

Kamar di mana Afnan menghembuskan nafas terakhirnya dipenuhi dengan aroma minyak kesturi selama 4 hari. Meskipun aku tak mampu menahan kesedihan, aku merasa takut dengan kejadian yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk mengganti aroma di kamar tersebut agar aku tidak lagi teringat akan kepergian Afnan. Hanya satu kalimat yang terucap dari bibirku, "Alhamdulillah rabbil 'aalamin."

/[ 0 komentar Untuk Artikel Guru kecil dari anak-anakku]\

Posting Komentar