Potensi migas Indonesia, sebagai sumber daya alam yang menarik, memiliki peranan utama, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kita terus bergantung pada energi setiap harinya, yang sebagian besar berasal dari fosil atau energi tidak terbarukan. Minyak dan gas digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan energi migas sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, baik sebagai penyumbang devisa maupun penyedia energi domestik.
Minyak bumi masih menjadi sumber energi dominan secara global, dan diprediksi akan tetap demikian hingga tahun 2030. Di Indonesia, minyak bumi masih mendominasi sumber energi primer nasional (52%). Meskipun sumber daya migas melimpah di Indonesia, kita juga menyadari bahwa kontrol atas sumber daya tersebut masih banyak dipegang oleh pihak asing.
Pengaruh asing dalam pengelolaan sumber daya migas Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial, dan kontrak dengan perusahaan asing terjadi sejak tahun 70-an, yang masih berlaku hingga saat ini.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa penguasaan sumber daya migas sudah berlangsung sejak lama. Salah satu contohnya adalah praktik "Barter Minyak" yang dilakukan oleh Partai Golkar untuk mendapatkan suara dalam jumlah yang signifikan. Dengan pendekatan unik ini, mereka menggunakan hak distribusi minyak tanah di Jawa yang diberikan oleh Pertamina, perusahaan migas negara. Minyak tersebut kemudian ditawarkan kepada para pemimpin yang memberikan hak distribusi lokal kepada simpatisan mereka sebagai imbalan atas dukungan suara untuk Golkar.
Praktik ini terbukti berhasil, seperti yang terjadi pada Pemilu 1971 di mana Golkar memenangkan secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan sumber daya migas oleh pihak asing juga sudah berlangsung sejak lama. Sebagai contoh, negara-negara seperti Venezuela dan Timur Tengah memiliki harga bensin yang lebih murah daripada Indonesia, meskipun sebenarnya Indonesia seharusnya memiliki harga yang lebih murah mengingat kekayaan sumber daya alamnya.
Namun, kenyataannya, berdasarkan UU No.25/2007 yang ditetapkan oleh Presiden, asing diperbolehkan untuk menguasai, menyedot, dan menguras tanah Indonesia selama hampir satu abad, terutama selama masa pemerintahan Soeharto selama 30 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia, meskipun telah merdeka selama 66 tahun, namun 88,8 persen dari sektor pertambangan migas masih dikuasai oleh pihak asing.
Liberalisasi sektor migas di Indonesia telah terjadi sejak era Orde Baru, yang ditandai dengan kehadiran investor asing dalam eksplorasi migas di tanah air. Meskipun mereka diperbolehkan beroperasi hanya di sebagian sektor hulu, BUMN Pertamina tetap menjadi pemain utama yang memiliki hak untuk mengelola sektor hulu dan hilir migas di Indonesia. Agar investor asing dapat menguasai seluruh sektor migas, baik hulu maupun hilir, diperlukan liberalisasi yang lebih luas.
Dengan bantuan lembaga internasional seperti IMF, USAID, Bank Dunia, ADB, dan lainnya, serta dukungan dari pihak-pihak di dalam negeri yang berpihak pada asing, liberalisasi sektor migas akhirnya terwujud melalui UU Migas No. 22 tahun 2001. Penyerahan kendali sektor migas kepada pihak asing di Indonesia tidak semata-mata disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia lokal, tetapi juga merupakan hasil dari kebijakan pemimpin bangsa yang cenderung mendukung kepentingan asing.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa sejak zaman kemerdekaan, kekayaan tambang dan mineral Indonesia lebih banyak dinikmati oleh perusahaan asing yang beroperasi di tanah air. Mereka secara bebas mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia karena regulasi hukum dan undang-undang yang ada cenderung menguntungkan investor asing daripada masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, ketergantungan Indonesia pada pihak asing dalam bidang ini masih sangat tinggi, sehingga menjadikan negara ini terus bergantung pada kontribusi mereka.
Sejarah bangsa Indonesia perlu dituliskan ulang agar kita dapat belajar dari pengalaman masa lalu dan memberikan yang terbaik untuk masa kini. Hal ini penting karena apa yang terjadi saat ini merupakan hasil dari perjalanan sejarah yang telah kita lalui. Menyembunyikan kebohongan dalam sejarah hanya akan membawa negara ini menuju kesulitan yang sulit diatasi, karena hal tersebut berarti kita membiarkan diri kita terus dikuasai oleh pembohong yang menciptakan kebohongan dalam sejarah.
Sejarah telah membuktikan bahwa rezim pembohong tidak akan pernah bisa membuat rakyat makmur. Contoh nyatanya adalah kasus penguasaan lahan tambang di Papua oleh Freeport, dimana kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya bisa berkembang justru terperangkap dalam kemiskinan yang semakin menggurita.
Saat ini, kita membutuhkan pionir yang bisa membantu meluruskan sejarah dengan cara yang kredibel, akuntabel, dan memiliki jiwa negarawan. Kita tidak memerlukan negarawan yang hanya pura-pura peduli pada kepentingan bangsa dan negara, namun sebenarnya hanya merupakan alat dari negara lain yang ingin merusak Indonesia. Semoga dengan adanya pionir seperti ini, kita bisa membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.



Posting Komentar