Beberapa waktu yang lalu, kami dan teman-teman sedang mengobrol tentang gaji bulanan yang kami terima. Kami semua tertawa terbahak-bahak karena gaji kami jauh di bawah Upah Minimum Propinsi. Kami merasa bodoh karena tetap bekerja di organisasi dengan bayaran yang sangat rendah. Tertawa bersama adalah cara terbaik untuk menghadapi kekecewaan dan kesedihan yang terus menghadang. Meskipun dalam benak kami ingin pindah ke tempat kerja yang lebih baik, kami tetap bertahan di organisasi saat ini.
Alasannya adalah karena usia kami yang sudah menuju pensiun. Tidak banyak organisasi yang mau menerima karyawan berusia senior seperti kami. Jadi, lebih baik bertahan di tempat yang sudah akrab meskipun gajinya kecil. Alasan lainnya adalah kualitas SDM kami yang rendah. Kami merasa malas untuk belajar hal baru dan tidak mau berubah menjadi lebih baik. Oleh karena itu, mengabdi di organisasi saat ini adalah pilihan terbaik untuk kami yang sudah tua dan malas. Suasana kerja di tempat kami terasa muram dan tidak menyenangkan.
Persoalan yang timbul dari keadaan muram di tempat organisasi kami bekerja adalah kurangnya etika kerja. Rekan-rekan kami berpendapat bahwa gaji yang rendah menjadi alasan untuk malas, melakukan korupsi waktu, dan bekerja dengan sembarangan. Mereka semua menyalahkan organisasi karena dianggap tidak mampu memberikan imbalan yang pantas. Pendapat mayoritas rekan kami ini membuat saya merenung. Jika organisasi mampu memberikan imbalan yang layak, apakah rekan-rekan kami bersedia dan mampu menunjukkan prestasi yang membanggakan? Persoalan ini seakan menjadi pertanyaan klasik, apakah yang lebih dahulu, ayam (kerja berkualitas) atau telur (imbalan).
Tulisan ini tidak hanya ditujukan kepada rekan-rekan kami di dalam organisasi, tetapi juga kepada para pemerhati masalah ketenagakerjaan dan manajemen organisasi. Melalui tulisan ini, kami ingin memberikan pencerahan mengenai strategi dalam menghadapi perilaku tidak etis di dalam organisasi. Harapan kami adalah agar organisasi tempat kami bekerja, serta organisasi secara keseluruhan, dapat berjalan dengan lebih baik karena para anggotanya melakukan tugas mereka dengan penuh etika.
Pertanyaan klasik tentang mana yang lebih dulu ayam atau telur, tidak akan pernah terjawab dengan memuaskan, karena akar permasalahannya adalah kita sering kali tidak tahu diri. Kita merasa sudah memberikan segalanya pada organisasi, padahal sebenarnya pengorbanan kita jauh lebih rendah dibandingkan dengan pengorbanan dari orang lain di organisasi lainnya. Kita merasa terlalu bangga untuk mengakui bahwa kita adalah SDM yang malas, bodoh, dan bebal. Untuk menutupi kelemahan tersebut, maka organisasi menjadi sasaran empuk untuk kita salahkan. Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut bias diri yang menguntungkan. Bias diri yang menguntungkan adalah persepsi bahwa diri sendiri lebih baik daripada orang lain secara umum. Bias diri yang menguntungkan mirip dengan kesalahan dalam menilai diri sendiri. Beberapa hasil penelitian tentang bias diri yang menguntungkan ini, antara lain:
Para pengusaha pada umumnya memandang diri mereka lebih etis daripada pengusaha lainnya. Ini hasil penelitian dari Baumhart pada tahun 1968. Di Australia, 86% orang berpikir bahwa kinerjanya jauh di atas rata-rata, dan hanya 1% orang yang merasa kinerjanya di bawah rata-rata. Ini hasil penelitian Headey dan Wearing pada tahun 1987.
Contoh dua penelitian tersebut semakin memperkuat kesadaran bahwa kita sering kali terlalu bangga untuk mengakui kekurangan yang dimiliki. Kita kerap merasa bahwa hanya kita saja yang memiliki semangat pengabdian yang tinggi di lingkungan ini karena kita rela berkorban. Mengapa kita begitu enggan untuk mengakui kelemahan diri? Terdapat beberapa alasan di balik fenomena persepsi diri yang terlalu bangga ini.
Alasan pertama dari rasa bangga terhadap diri sendiri adalah karena adanya keinginan untuk menunjukkan citra yang baik di hadapan orang lain. Tanpa disadari, kita semua cenderung memberikan alasan yang membenarkan kemalasan kita. Contoh perilaku yang sering kita tunjukkan adalah merasa tidak bersalah saat terlambat, merasa wajar meninggalkan tugas lebih cepat, atau merasa wajar perlakuan kurang baik terhadap konsumen. Ironisnya, hanya saya yang merasa sedih melihat pola pikir yang cenderung egosentris ini. Akibatnya, saya sering merasa tidak nyaman dalam pergaulan di lingkungan tempat kita bekerja. Saya sering berbeda pendapat dengan mayoritas teman-teman. Apakah saya termasuk orang yang luar biasa? Tidak, saya bukan orang yang luar biasa. Terkadang, saya juga terpengaruh oleh pemikiran teman-teman dan merasa senang terlambat, tidak melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh, mencari alasan agar tidak ikut rapat yang melelahkan, dan menghindari pimpinan. Meskipun sedih, saya harus mengakui bahwa citra diri yang baik di mata orang lain masih memegang arti penting bagi saya.
Alasan kedua dari kesombongan dalam persepsi diri adalah keinginan untuk menunjukkan citra yang baik bagi diri sendiri. Hal ini penting agar kita tidak merasa bersalah ketika berperilaku tidak pantas, seperti tidak memberikan pelayanan yang baik kepada konsumen. Contohnya, seolah-olah kita sebagai karyawan merasa berhak untuk mencuri waktu dan bekerja di tempat lain karena merasa bahwa organisasi tempat kita bekerja tidak adil. Karyawan dianggap sebagai objek dan tidak bisa disalahkan ketika berperilaku tidak baik.
Dampak dari sikap egois ini adalah kadang-kadang kita juga tergoda untuk melakukan tindakan tidak pantas seperti yang dilakukan oleh orang lain. Akibatnya, perilaku tersebut dapat terbawa ketika kita harus bekerja di luar organisasi tempat kita bekerja. Organisasi luar tersebut mungkin memiliki standar kerja yang lebih baik, sehingga tidak mengherankan jika orang-orang di sana mencapai prestasi yang luar biasa. Akibatnya, kita menjadi malu dan merasa tertinggal dalam hal prestasi kerja dibandingkan dengan teman-teman kita yang bekerja di organisasi yang lebih baik.
Bagaimana cara mengatasi pandangan pongah terhadap diri sendiri? Untuk mencapai perubahan perilaku, langkah pertama adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan sikap pongah dan menerima kenyataan tersebut. Setelah menerima diri sendiri, maka solusi dapat ditemukan. Penting untuk bersedia berubah setelah menyadari faktor-faktor yang memengaruhi sikap pongah, misalnya rasa terkungkung dalam kelompok yang membuat seseorang merasa lebih unggul daripada yang lain.
Untuk mengatasi persepsi yang salah tentang diri sendiri, diperlukan langkah untuk memperluas lingkaran pergaulan sosial. Melalui interaksi dengan berbagai orang, seseorang akan menyadari bahwa di luar lingkungan tersebut terdapat banyak orang dengan prestasi yang luar biasa. Berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda akan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang kehidupan dan membuka kesempatan bagi setiap individu untuk berubah menjadi lebih baik.
Bagaimana cara untuk mengubah perilaku dalam kelompok tanpa terlihat sombong? Saat saya mulai bergaul dengan banyak orang di luar lingkungan kerja saya, saya menyadari ada banyak kesempatan yang bisa saya raih. Ketika berhasil memanfaatkan kesempatan tersebut, saya merasa lebih percaya diri dan mampu menghadapi tekanan dari rekan-rekan sekerja yang ingin saya tetap "seragam" dalam perilaku.
Secara praktis, saya mulai lebih berani untuk menunjukkan pandangan saya tentang pentingnya mendapatkan gaji yang sesuai dengan kinerja. Menurut saya, gaji rendah bukan alasan untuk berperilaku tidak pantas. Jika merasa tidak puas dengan kondisi di organisasi, lebih baik untuk mencari peluang di tempat lain.
Jika kita menginginkan gaji yang lebih tinggi, kita harus membuktikan bahwa kita layak menerimanya dengan kinerja yang baik. Perilaku yang pantas mendapatkan gaji tinggi antara lain adalah disiplin waktu, menyelesaikan tugas tepat waktu bahkan lebih cepat, membantu rekan kerja, melayani konsumen dengan baik, tidak melakukan korupsi, dan masih banyak lagi perilaku positif lainnya.
Sekaranglah saatnya untuk berubah. Mengapa tidak mencoba mulai sekarang?



Posting Komentar