Kemewahan, Keserakahan, Kesederhanaan, dan Kemiskinan Kemegahan, Keinginan berlebih, Kehalusan, dan Kekurangan

|| || || Leave a komentar

Kehidupan yang mewah dan berfoya-foya dapat membuat seseorang menjadi serakah. Untuk hidup dalam kemewahan, seseorang memerlukan uang yang cukup banyak. Namun, jika pengeluaran melebihi pemasukan, maka hal itu akan menjadi beban yang berat bagainya. Akibatnya, dia akan terus mencari uang lebih banyak lagi.

Ada orang yang menggunakan kartu kredit sehingga terjerat hutang dan harus berurusan dengan debt collector. Ada yang berutang namun tidak mau mengembalikannya. Saya pernah didekati oleh seorang kenalan yang meminjam uang puluhan juta rupiah padahal saya hanya menggunakan angkot sebagai transportasi sehari-hari, sedangkan dia selalu naik mobil mewah ber-AC. Belakangan, seorang teman melaporkan bahwa saudaranya tidak dibayar ketika berbisnis dengan orang tersebut. Banyak juga pejabat yang terlibat korupsi agar bisa memiliki banyak harta benda mewah. Semua ini adalah akibat dari gaya hidup mewah yang berlebihan, yang membuat seseorang menjadi zhalim terhadap orang lain.

Tak hanya itu, ada juga yang melakukan monopoli tanah sehingga merugikan pihak lain. Sebagai contoh, 69,4 juta hektar tanah di Indonesia dikuasai oleh hanya 652 pengusaha. Sementara jutaan petani hanya memiliki tanah kurang dari setengah hektar, bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki tanah dan hidup dalam kemiskinan. Jika tanah-tanah ini dibagikan secara adil, maka kemiskinan yang dialami oleh para petani yang hanya bisa menjadi buruh tani bisa diatasi.

Seperti yang dikatakan Gandhi, "Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang yang serakah." Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan bahwa manusia cenderung serakah dan tidak pernah merasa puas. Hanya dengan kembali kepada-Nya, seseorang bisa menemukan kedamaian sejati.

Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa keserakahan tidak memiliki batas. Kelaparan dan kemiskinan terjadi karena para serakah yang menimbun harta mereka dan enggan membaginya kepada orang-orang yang membutuhkan.

Dalam majalah Fortune, disebutkan bahwa orang terkaya di dunia, Carlos Slim memiliki harta sebesar 59 miliar dollar atau setara dengan Rp 554 triliun, sedangkan Bill Gates memiliki harta sebesar 56 miliar dollar dan Lakshmi Mittal dengan harta sebesar US$ 32 miliar. Total kekayaan 1000 orang terkaya di dunia versi Forbes mencapai 33.000 triliun rupiah.

Jika 1000 orang terkaya tersebut cukup puas dengan Rp 10 miliar dan sisanya disumbangkan, maka 6,6 miliar penduduk dunia bisa menikmati hampir Rp 5 juta per orang atau Rp 20 juta per keluarga. Dengan demikian, kemiskinan absolut dapat dihindari. Jika 10 juta orang terkaya bisa bersedekah dan tidak menimbun harta terlalu banyak, maka tidak akan ada orang miskin yang harus menderita kelaparan.

Oleh karena itu, Allah mengingatkan agar harta tidak hanya ditimbun oleh para orang kaya, tetapi juga harus disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan, sehingga harta tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.

"Dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta serta orang miskin yang tidak mendapat bagian." [Adz Dzaariyaat 19]

Kita dilarang hidup boros dan berfoya-foya sehingga sisa harta yang tersisa untuk disedekahkan hanya sedikit. Orang yang hidup boros dan bermewah-mewahan dianggap sebagai saudara dari setan. Bagaimana mungkin, ketika banyak orang kelaparan, ada yang malah hidup mewah?

"Berikanlah kepada keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan harta secara boros. Sesungguhnya, orang yang boros adalah saudara dari setan dan setan sangat ingkar kepada Tuhannya." [Al Israa':26-27]

"Megah-megahan telah melalaikan kamu." [At Takaatsur:1]

Sebagai seorang Nabi dan pemimpin negara, Nabi Muhammad menolak hidup mewah, meskipun kerajaan Romawi dan Persia hampir jatuh ke tangan Islam. Pada masa Sahabat, kedua kerajaan besar itu tunduk pada Islam. Berbeda dengan Raja Romawi dan Persia yang hidup mewah dengan kekayaan, beliau memilih untuk hidup sederhana. Nabi tidur hanya dengan alas dari pelepah kurma, dan perabot rumahnya sangat sederhana sehingga membuat Umar ra menangis terharu.

Kisah Umar ra: Suatu ketika, aku (Umar) mendatangi Rasulullah saw. yang sedang beristirahat di atas tikar. Aku duduk di dekat beliau dan melihat bahwa beliau hanya tertutup oleh selembar kain sarung. Bekas tikar terlihat jelas di tubuh beliau. Saat aku melihat sekeliling kamar, aku menemukan segenggam gandum, daun penyamak kulit, dan selembar kulit binatang yang belum sempurna disamak. Air mataku tak terbendung melihat kondisi tersebut. Rasulullah pun bertanya, "Mengapa engkau menangis, wahai putra Khathab?" Aku menjawab, "Bagaimana mungkin aku tidak menangis, melihatmu berada dalam keadaan seperti ini, sementara para penguasa dunia hidup dalam kemewahan." Rasulullah saw. kemudian berkata, "Wahai putra Khathab, apakah engkau tidak rela jika akhirat menjadi milik kita dan dunia menjadi milik mereka?"

Keluarga Nabi tidak pernah makan sampai kenyang selama tiga hari berturut-turut. Mereka selalu merasakan kelaparan setiap tiga hari. Hal ini berbeda dengan sebagian umat Islam yang lebih memperhatikan status sosial ketika memilih apa yang mereka konsumsi. Nabi dan keluarganya hidup sederhana, tidak seperti sebagian pejabat Muslim yang menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi.

'Aisyah melaporkan bahwa keluarga Muhammad (SAW) tidak pernah makan sampai kenyang dengan roti gandum selama tiga malam berturut-turut sejak mereka tinggal di Medina hingga wafatnya. Nabi tidak meninggalkan harta warisan saat beliau wafat. Dalam hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak meninggalkan harta warisan, tidak sedinar pun, tanpa kambing atau unta, dan tidak memberikan wasiat apapun.

Nabi sederhana bukan karena terpaksa, tetapi karena kesadaran sebagai pemimpin negara untuk hidup sederhana dan berbagi dengan fakir miskin. Meskipun bisa hidup mewah seperti Raja Romawi dan Persia, segala harta yang diterimanya langsung disedekahkan kepada yang membutuhkan. Tidak pantas bagi ulama atau tokoh Islam hidup bermewah-mewahan dengan alasan meniru Nabi Sulayman, karena yang harus diikuti saat ini adalah Syari'at Nabi Muhammad. Kita tidak boleh menggunakan syariat Nabi sebelumnya, contohnya seperti Nabi Ibrahim yang menyembelih anaknya sebagai kurban atau meniru cara sholat/Haji Nabi lainnya seperti Nabi Daud. Nabi Muhammad adalah teladan bagi kita.

Istri Nabi, Aisyah, pernah menceritakan bahwa Nabi mendapat hadiah yang banyak suatu pagi, namun sebelum petang tiba, harta tersebut sudah habis dibagikan kepada fakir miskin. Itulah akhlak Nabi yang sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur'an, "Engkau tak akan mendapatkan kebaikan apa pun hingga kalian menyedekahkan sebagian harta yang paling kalian cintai. Ketahuilah, apa pun yang kalian infakkan, Allah pasti mengetahuinya" (Ali 'Imran: 92).

Dalam sebuah hadis, Nabi SAW menyatakan bahwa setiap Muslim wajib bersedekah. Jika tidak mampu memberi harta, maka berusahalah dengan tangan sendiri untuk mendapatkan rezeki dan dapat bersedekah. Jika tetap tidak mampu, membantu orang yang sangat membutuhkan adalah bentuk sedekah. Jika tidak bisa juga, menganjurkan kebaikan dan menahan diri dari kejahatan juga dianggap sebagai sedekah untuk diri sendiri.

Kita tidak seharusnya hidup mewah sementara banyak orang miskin di sekitar kita. Banyak anak-anak dan balita miskin yang terpaksa mencari makan di jalanan, bahkan berisiko menghadapi kekerasan seksual. Seharusnya, dengan kekayaan yang dimiliki, kita membantu mereka keluar dari kemiskinan agar tidak terlantar di jalanan. Ayo berbagi kepada sesama dan berbuat kebaikan, karena itulah yang akan membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik bagi kita semua.

Apakah kamu tahu siapa yang mengingkari agama? Mereka adalah orang-orang yang mengabaikan anak yatim dan menolak untuk memberi makan orang miskin. Selama kita hidup bermewah-mewah tanpa peduli kepada sesama, itu berarti kita hanya berdusta terhadap agama. Semua amalan ibadah yang kita lakukan tidak akan bermakna jika kita tidak peduli terhadap orang lain.

Pada akhirnya, kita akan dimintai pertanggungjawaban bukan hanya atas asal-usul harta kita, tetapi juga bagaimana kita menggunakan harta tersebut. Jika kita enggan membayar zakat dan tidak mau memberi sedekah, kita dianggap sebagai orang yang kotor. Allah telah memerintahkan kita untuk membersihkan diri dengan zakat.

Kita harus belajar hidup sederhana dan bersyukur dengan apa yang telah kita miliki. Orang yang serakah dan tidak pernah merasa cukup akan selalu merasa tidak bahagia. Golongan yang disiksa di neraka antara lain adalah golongan yang hidup bermewah-mewah. Mereka akan disiksa dengan angin panas, air mendidih, dan naungan asap yang hitam. Mereka selalu berbuat dosa besar dan meragukan kebangkitan setelah mati.

Jadi, mari kita jauhi sifat serakah dan belajar untuk peduli terhadap sesama agar kita tidak termasuk golongan yang mengingkari agama.

Jadi, hentikan keserakahan dan gaya hidup mewah atau boros ala raja Romawi dan Persia. Ikuti sunnah Nabi yang hidup sederhana dan rajin bersedekah.

/[ 0 komentar Untuk Artikel Kemewahan, Keserakahan, Kesederhanaan, dan Kemiskinan Kemegahan, Keinginan berlebih, Kehalusan, dan Kekurangan]\

Posting Komentar