Keamanan makanan

|| || || Leave a comments

Salah satu target pembangunan di Indonesia adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), yang merupakan subjek dan objek utama dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Peningkatan kualitas SDM ini diatur dalam GBHN 1999-2004 dan GBHN tahun-tahun sebelumnya. Pentingnya peningkatan kualitas SDM ini terlihat dari dampaknya terhadap percepatan pembangunan ekonomi nasional. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, seperti kebutuhan akan protein.

Protein sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia, terutama anak-anak di bawah lima tahun yang sedang dalam masa pertumbuhan yang pesat. Kebutuhan akan protein nabati dan hewani perlu mendapat perhatian agar kecukupan gizi masyarakat dapat terpenuhi dengan baik. Standar nasional menargetkan konsumsi protein hewani sebesar 6,0 gram per kapita per hari, namun konsumsi rata-rata saat ini masih di bawah target tersebut.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia meningkatkan impor produk ternak, terutama daging dan susu, karena permintaan yang tinggi tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Hal ini menimbulkan berbagai isu terkait keamanan pangan, seperti impor daging dari negara-negara dengan standar keamanan yang rendah. Masalah keamanan pangan ternak menjadi isu strategis yang perlu mendapat perhatian semua pihak.

Di era perdagangan bebas pada abad ke-21 ini, kualitas dan keamanan pangan ternak akan menjadi persyaratan mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memastikan bahwa pangan asal ternak yang dikonsumsi aman dan berkualitas.

1. Menyampaikan pemahaman kepada semua pihak yang terlibat dalam penyediaan pangan asal ternak, mulai dari produsen hingga konsumen, mengenai pentingnya keamanan pangan asal ternak bagi kesehatan masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing pasar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri di era perdagangan bebas.
2. Mengedukasi bahwa pangan asal ternak bukan hanya sebagai bahan makanan, tetapi juga sebagai komoditas dagang yang harus diperhatikan.
3. Menyampaikan bahwa untuk menghasilkan pangan asal ternak yang berkualitas dan aman, dibutuhkan upaya-upaya pengamanan di setiap tahapan produksi, salah satunya dengan menerapkan konsep HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). 

Pangan asal ternak adalah bahan pangan hewani yang tidak termasuk ikan, seperti telur, susu, daging, dan edible portion dari ternak ruminansia, babi, dan ayam. Keamanan pangan, menurut UU tentang pangan No. 7 tahun 1996, adalah usaha untuk mencegah pangan dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Masalah keamanan pangan bersifat dinamis dan berkaitan dengan aspek mikrobiologis, kimia, status gizi, dan ketentraman batin.

Perdagangan internasional semakin ketat dengan adanya GATT, WTO, AFTA, dan APEC. Pangan asal ternak harus aman agar memiliki daya saing di era perdagangan bebas ini. Kualitas pangan asal ternak tidak hanya berpengaruh pada kesehatan, tetapi juga pada pertumbuhan fisik dan kecerdasan masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan peternakan harus memperhatikan kualitas dan keamanan pangan.

Pemerintah Indonesia telah merespons dengan menerbitkan UU tentang Pangan No. 7 tahun 1996 untuk menghadapi persaingan perdagangan global. Keamanan pangan dipandang sebagai hal yang penting dan harus selalu diperhatikan.

Untuk mendapatkan bahan pangan asal ternak yang berkualitas dan aman, penting untuk memahami rangkaian proses dalam penyediaannya mulai dari peternakan hingga transportasi yang termasuk dalam program keamanan pangan sebelum panen, yang kemudian dilanjutkan dengan proses pemotongan di rumah potong hewan, pengolahan, pemasaran, dan penyajian kepada konsumen sebagai bagian dari program keamanan pangan setelah panen. Penting untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan pada setiap tahapan dalam penyediaan pangan ternak tersebut untuk dapat mengantisipasi tindakan pengawasan yang diperlukan.

Proses penyediaan pangan berupa daging, telur, dan susu memiliki perbedaan dalam rangkaian prosesnya, yang dijelaskan dalam gambar-gambar yang menggambarkan rantai penyediaan masing-masing produk. Penjelasan garis besar dari farm hingga konsumen menurut Food Animal Production Medicine Consortium (1993) dengan sedikit modifikasi. Akan ada program keamanan pangan sebelum panen dan setelah panen yang harus diikuti dalam setiap tahapan proses penyediaan pangan ternak tersebut. 

Proses Pra-produksi (Program Keamanan Pangan Sebelum Panen)
Dalam proses pra-produksi yang dimulai dari peternakan atau produsen, terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kualitas akhir dari produk ternak. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada tahap pra-produksi antara lain:
a. Kondisi lingkungan tempat ternak dipelihara, termasuk kualitas tanah, air, udara di sekitar peternakan, dan sanitasi.
b. Jenis pakan atau bahan pakan yang digunakan.
c. Kesehatan dan tanggung jawab tenaga kerja yang terlibat.
d. Penggunaan bahan kimia seperti pestisida dan desinfektan.
e. Penggunaan obat-obatan hewan.
f. Keberadaan hewan lain dan tanaman liar di sekitar.
g. Status penyakit hewan menular, termasuk zoonosis.
h. Sistem manajemen yang diterapkan.

Faktor-faktor ini sangat penting dalam menghasilkan produk ternak yang berkualitas dan aman dikonsumsi. Jika faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan dengan baik untuk memastikan pertumbuhan dan kesehatan ternak, maka akan memberikan dampak positif seperti:
a. Keamanan produk ternak terjamin.
b. Konsumen percaya dan yakin pada mutu daging yang dihasilkan.
c. Harga jual produk lebih tinggi.
d. Produk daging bisa bersaing di pasar internasional berdasarkan mutu dan keamanannya.
e. Risiko cemaran mikroba dan bahan kimia dapat dikurangi.
f. Kesehatan dan kesejahteraan hewan meningkat.
g. Pertumbuhan ternak menjadi lebih cepat dan dapat dijual lebih cepat.
h. Pengurangan jumlah produk ternak yang ditolak atau dimusnahkan selama prosesing, meningkatkan keuntungan.
i. Pencegahan penularan penyakit hewan ke manusia, mengurangi biaya kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Proses Pasca Produksi (Program Keamanan Pangan Pascapanen)

Daging sapi
Setelah ternak siap untuk dipasarkan atau dipanen dagingnya, ternak tersebut akan menjalani proses transportasi dari peternak atau peternakan untuk sampai di rumah pemotongan hewan. Beberapa tahapan kegiatan yang perlu dilakukan pada proses pasca produksi daging, antara lain:
a. Pemeriksaan sebelum pemotongan, pada masa pemulihan kondisi atau masa istirahat minimal 12 jam sebelum dipotong.
b. Proses pemotongan atau penyembelihan yang dilakukan sesuai dengan tata cara Islam sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
c. Proses pelepasan kulit, pengeluaran jeroan, pembelahan karkas, yang diikuti dengan pemeriksaan setelah pemotongan terhadap daging dan bagian-bagian lainnya secara utuh yang dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium bila diperlukan.
d. Kemudian daging dilayukan dengan meniriskannya selama 8 jam. Setelah pelayuan dan penirisan selesai, dilanjutkan dengan dua alternatif tahapan kegiatan, yaitu:
1. Proses pengangkutan karkas dengan kendaraan yang memenuhi persyaratan, dilanjutkan dengan peredaran atau penjualan daging di tempat yang memenuhi syarat dan telah ditentukan, dan akhirnya sampai kepada konsumen.
2. Proses pelepasan tulang (deboning) yang dilanjutkan dengan pengepakan daging, pendinginan, dan pengangkutan dengan kendaraan yang memenuhi syarat, dan terakhir daging diedarkan atau dipasarkan pada konsumen di tempat yang memenuhi syarat dan telah ditentukan. Apabila setiap tahapan kegiatan dalam proses pasca produksi daging tersebut dilakukan secara terkontrol sehingga persyaratan yang ditentukan selalu terpenuhi, maka sudah dapat dipastikan akan diperoleh daging yang bermutu baik dan aman untuk dikonsumsi.

Susu
Untuk memperoleh produk susu yang baik, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kesehatan ternak dan juga kesehatan lingkungannya. Pada tahap pemerahan perlu diperhatikan higienis pekerja, peralatan yang akan digunakan, penampung susu, dan sanitasi tempat pemerahan terutama kandang. Penangan yang perlu diperhatikan pada pasca produksi susu ini terutama pada saat transportasi, pengumpulan susu yang higienis, dan melakukan uji mutu susu dengan pengukuran berat jenis susu, total kandungan protein dan lemak, serta pengukuran jumlah kuman. Perlu juga mendeteksi kandungan residu obat hewan dan senyawa kimia lainnya. Sebagai pembanding harus mengacu kepada SNI No. 01-6366-2000 tentang keberadaan cemaran mikroba dan Batas Maksimum Residu (BMR) pada produk ternak termasuk susu.

Sebagaimana pada proses pengolahan daging sapi, proses pemotongan ayam di Rumah Pemotongan Unggas (RPU) atau Tempat Pemotongan Ayam (TPA) juga harus mengikuti prosedur standar yang telah ditetapkan mulai dari pemeriksaan sebelum pemotongan, pemotongan secara halal, pemeriksaan setelah pemotongan, hingga pengepakan, penyimpanan, dan distribusi. RPU sebaiknya mengikuti ketentuan SNI tentang RPU, yaitu SNI 01-6-6160-1999.

Penyalahgunaan obat-obatan harus diperhatikan dan harus digunakan dengan bijaksana pada telur ayam. Selain itu, pakan yang diberikan harus bebas dari kontaminan bahan berbahaya seperti pestisida, logam berat, dan mikotoksin, serta bahan-bahan berbahaya lainnya. Kualitas dan keamanan telur ayam yang akan dikonsumsi sangat ditentukan selama proses pra-produksi. Kontaminasi Salmonella pada telur dapat terjadi pada proses pasca produksi jika kebersihan di peternakan dan saat pengumpulan serta penyimpanan tidak diperhatikan. Oleh karena itu, kebersihan telur dan penyimpanannya harus diperhatikan dengan baik agar tidak terinfeksi oleh mikroba maupun berbagai jenis kapang atau jamur.

Bahaya atau hazard yang dapat mempengaruhi keamanan pangan dari ternak dapat terjadi pada setiap tahapan mulai dari pra-produksi di tingkat peternak atau produsen hingga proses pasca produksi hingga produk tersebut didistribusikan dan disajikan kepada konsumen. Bahaya atau hazard tersebut meliputi penyakit pada ternak, penyakit yang ditularkan melalui pangan atau food borne diseases, serta kontaminasi kimiawi dan bahan toksik lainnya.

Penyakit - penyakit Ternak Menular

Penyakit ternak menular yang dimaksud di sini adalah penyakit yang umumnya terjadi pada proses praproduksi, yaitu penyakit yang dapat menyerang ternak yang sedang dalam proses pemeliharaan. Penyakit ini selain berpengaruh terhadap kesehatan ternak itu sendiri, juga berpengaruh terhadap mutu dan keamanan dagingnya. Oleh karena hazard semacam ini terjadi pada saat proses Pra-produksi (di peternakan), maka upaya mengatasinya juga harus ditangani pada saat ternak masih di peternakan tersebut dengan menerapkan pola pengamanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Antraks merupakan penyakit hewan bersifat zoonosis yang disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis. Di luar tubuh hewan, kuman ini membentuk spora yang dapat hidup selama bertahun-tahun. Tanah atau lingkungan yang telah tercemar spora kuman ini sangat potensial untuk mengakibatkan penyakit kepada ternak, manusia atau bahan pangan lainnya. Oleh karena itu lokasi peternakan atau pemukiman seharusnya bebas dari cemaran spora atau kuman antraks. Ternak yang terserang penyakit ini tidak boleh dipotong apalagi dikonsumsi. Pencegahannya dapat dilakukan dengan vaksinasi.

BSE atau yang lebih dikenal dengan sebutan penyakit Sapi Gila atau Mad Cow merupakan penyakit dari kelompok penyakit Transmissible Spongioform Encephalopathy (TSE). Penyakit ini menyerang susunan syaraf pusat sapi dan menyebabkan kerusakan sel-sel syaraf (neuron) yang bersifat progresif dengan terbentuknya lubang-lubang (vakuolisasi) sel-sel syaraf terutama pada bagian grey matter dari otak. Kerusakan sel-sel syaraf ini selalu disertai dengan akumulasi protein tertentu yang dikenal juga protein prion sehingga penyakit ini dikenal juga dengan prion Diseases. Penyakit ini dapat juga menyerang manusia yang disebut Creutzfeldt Jacob Disease (CJD) atau Alzheimer Disease (AD). Data Epidemiologi menunjukkan bahwa munculnya CJD varian baru di Eropa erat kaitannya dengan merebaknya penyakit BSE di daerah yang sama. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa penyakit sapi gila dapat menular dari hewan ke manusia dapat melalui makanan, obat-obatan atau kosmetika yang terkontaminasi atau berasal dari ternak yang menderita BSE. Berdasarkan laporan WHO dan laporan OIE pada tahun 2001, kasus BSE terjadi di Inggris dengan jumlah 7228 kasus pada 1989. Pada laporan tersebut, BSE telah terjadi di 19 negara Eropa dan satu negara Asia, yaitu Jepang sebanyak 3 kasus yang terjadi pada tahun 2001. Jadi penyakit sapi gila pertama kali dilaporkan di Inggris pada bulan Nopember 1986 dan sampai dengan Mei 1995 sudah terjadi 148.200 kasus yang terjadi pada 32.385 peternakan.

Virus Nipah (Encephalitis) merupakan salah satu penyebab radang otak (encephalitis) yang baru-baru ini menyebar di Malaysia, menelan korban lebih dari 100 orang meninggal dunia. Penyakit ini terkait dengan babi, dan orang-orang yang memiliki kontak langsung dengan babi (peternak, pekerja peternakan, atau pekerja rumah potong hewan) adalah yang paling rentan terkena penyakit radang otak ini.

Selain di Malaysia, kasus yang sama juga terjadi di Singapura, menyerang 11 orang yang menangani babi impor dari Malaysia. Awalnya, kasus ini diidentifikasi sebagai Japanese B Encephalitis (JE), namun setelah penelitian yang dilakukan oleh Center for Disease Control and Prevention (CDC) USA, virus yang ditemukan konsisten dengan paramyxovirus, yang kemudian diidentifikasi memiliki persamaan dengan virus Hendra asal Australia. Namun, melalui analisis biologi molekuler, virus yang menyebabkan wabah di Malaysia diketahui memiliki persamaan dengan Hendra virus, sehingga disebut sebagai virus jenis Hendra. Virus ini diisolasi dari kampung Sungai Nipah, sehingga dikenal dengan nama Virus Nipah.

Salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit radang otak dari Malaysia ke Indonesia adalah dengan meningkatkan pengawasan lalu lintas ternak, khususnya babi dan daging babi, di setiap titik masuk dengan sistem karantina yang ketat.

Penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai jenis ternak, termasuk sapi. Ada tiga tipe kuman tersebut: tipe manusia, tipe sapi, dan tipe burung. TBC biasanya menyerang saluran pernapasan, pleura, dan kelenjar pertahanan. Gejala penyakit ini dapat dilihat dari adanya tuberkel atau nodul berwarna kekuningan di dalam tubuh hewan yang terinfeksi. Karkas hewan yang terinfeksi masih bisa dikonsumsi jika lesi masih sedikit, namun tidak boleh dikonsumsi jika lesi sudah menyeluruh.

Penyakit radang paha disebabkan oleh kuman Clostridium chauvoei yang biasanya menyerang sapi dan domba. Penyakit ini bersifat akut dengan gejala pembengkakan pada jaringan di bahu dan paha, yang terasa seperti ada gas atau udara yang bergerak. Karkas hewan yang terinfeksi tidak boleh dikonsumsi atau dipasarkan. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi.

Penyakit mulut dan kuku
Penyakit mulut dan kuku disebabkan oleh virus dengan berbagai tipe yang menyerang ternak berkuku genap, termasuk sapi. Gejala utama dari penyakit ini adalah adanya lesio pada bagian mulut dan kuku hewan. Ternak yang berasal dari daerah terinfeksi sebaiknya tidak ditransportasikan ke daerah lain yang masih bebas dari penyakit ini. Meskipun demikian, karkas hewan masih dapat dikonsumsi dengan pengawasan ketat setelah bagian-bagian kepala, jeroan, dan kaki yang terinfeksi dibuang atau direbus. Upaya pencegahan penyakit ini dapat dilakukan melalui vaksinasi. 

Sistiserkosis pada sapi
Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Cysticercus bovis, yaitu cyste dari cacing dewasa Taenia saginata yang hidup di usus. Penyakit ini biasanya terdapat di otot-otot hewan, terutama di bagian rahang, jantung, diaphragma, dan otot lainnya. Sistiserkosis ini dapat bertahan hidup dalam otot hingga lebih dari 5 tahun karena dibungkus oleh kapsula berupa jaringan ikat. Jika jumlah infestasi parasit tidak terlalu banyak, otot yang terinfeksi saja yang harus dibuang, sementara bagian lainnya masih dapat dikonsumsi. Namun, apabila jumlah cyste cukup banyak, disarankan untuk merebus karkas terlebih dahulu atau tidak mengonsumsinya sama sekali. Kasus sistiserkosis pernah terjadi di Bali, di mana dari 6 kasus yang dilaporkan, 2 di antaranya terjadi di Denpasar. Prevalensi taenasis di daerah Padang Sambian mencapai 3,2%.

Penyakit Bakterial yang Ditularkan Melalui Pangan
Penyakit yang ditularkan melalui makanan biasanya disebabkan oleh bakteri, yang dikenal sebagai penyakit makanan bakterial. Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui berbagai faktor, seperti adanya agen penyebab pada saat pengolahan makanan yang ditularkan melalui bahan makanan, pekerja, atau hewan, kontaminasi silang melalui tangan, peralatan, atau pakaian, serta penyimpanan makanan pada suhu ruangan lebih dari 2 jam. Infeksi oleh bakteri atau intoksikasi oleh toksin yang dihasilkan bakteri tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit. Beberapa contoh penyakit bakterial yang dapat ditularkan melalui makanan termasuk:

Salmonellosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Salmonella sp. yang terdiri dari berbagai serotipe. Sumber penularannya berasal dari kotoran manusia dan hewan, serta air yang terkontaminasi oleh limbah tersebut. Bakteri ini sering ditemukan dalam makanan asal hewan seperti daging sapi, daging unggas, dan telur. Penyakit ini menyebar hampir di seluruh dunia dan ditularkan dari hewan ke manusia melalui makanan yang terkontaminasi. Salmonella typhimurium dan Salmonella enteritidis merupakan spesies yang paling umum ditemukan pada manusia dan hewan. Pencegahan dapat dilakukan dengan tindakan kebersihan yang baik.

Enteritis Clostridium perfringens disebabkan oleh bakteri anaerobik yang relatif tahan terhadap proses pemanasan dan pengeringan. Sumber penularannya adalah kotoran manusia dan hewan yang mencemari air, tanah, dan tanaman. Keracunan terjadi karena toksin yang dihasilkan oleh bakteri ini.

Intoksikasi Staphylococcus disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang dapat tumbuh dalam makanan dan menghasilkan toksin. Gejalanya meliputi mual, muntah, dan diare. Sumber kontaminasi adalah selaput lendir hidung dan kulit hewan serta manusia.

Campylobacteriosis disebabkan oleh Campylobacter jejuni dan gejalanya termasuk demam, sakit kepala, diare, sakit perut, dan mual. Bakteri ini dapat ditemukan pada daging segar atau setengah masak.

Hemorrhagic Colitis disebabkan oleh Escherichia coli serotipe O157:H7 yang dapat ditemukan di air yang terkontaminasi oleh kotoran manusia. Gejalanya meliputi kejang perut, diare berdarah, mual, muntah, dan demam ringan. Penularan bakteri ke dalam daging terjadi selama proses pasca produksi seperti pemotongan, pengulitan, dan pengangkutan. Penting untuk menjaga kebersihan selama proses produksi dan penanganan daging. 

Cemaran (kontaminan) kimiawi dan bahan toksik lainnya pada daging, susu, dan telur dapat terjadi akibat penggunaan obat-obatan hewan yang tidak sesuai petunjuk, seperti antibiotika yang meninggalkan residu dalam produk ternak. Hal ini dapat menyebabkan produk tersebut tidak aman untuk dikonsumsi dan menimbulkan berbagai masalah kesehatan pada manusia. Selain itu, bahan kimia seperti mikotoksin, pestisida, dan logam berat juga dapat mengkontaminasi produk ternak karena tertimbun di dalam jaringan tubuh hewan melalui pakan yang mereka konsumsi. Contoh kasus pencemaran dioksin di Belgia pada tahun 1999 menunjukkan dampak serius dari cemaran kimia pada produk asal ternak, yang mengakibatkan larangan penjualan dan penarikan produk dari peredaran. Dioksin, yang terbentuk sebagai hasil samping dari proses pembuatan pestisida, sangat berbahaya dan toksik bagi kesehatan karena sifatnya yang karsinogenik. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan keamanan pangan dan kualitas produk ternak agar terhindar dari cemaran bahan kimia yang berbahaya.

Beberapa kasus cemaran pada pangan asal ternak di Indonesia telah dilaporkan dalam bab sebelumnya. Cemaran tersebut dapat berasal dari mikroorganisme, toksin alami, obat-obatan, dan bahan kimia lainnya. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut:

Cemaran mikrobiologis:
- Antraks: Cemaran daging oleh bakteri antraks terjadi karena ternak terserang penyakit tersebut di tingkat peternak. Manusia dapat terinfeksi antraks dari produk ternak yang terkontaminasi atau dari kontak langsung dengan agen penyakitnya. Kasus antraks pada ternak dan manusia di Indonesia dapat dilihat dalam data yang ada.

- Salmonella: Pengamatan selama 7 tahun menunjukkan bahwa berbagai serotipe bakteri Salmonella dapat ditemukan pada produk asal ternak di Indonesia, yang dapat mengancam kesehatan masyarakat. Sanitasi di tingkat produsen dan pengolah harus ditingkatkan agar produk ini aman untuk dikonsumsi dan bersaing di pasar global.

Cemaran kimia:
- Residu obat: Survei menunjukkan adanya residu obat seperti antibiotika dalam produk peternakan seperti daging, telur, dan susu. Keberadaan residu obat melebihi batas maksimum yang ditetapkan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan pada manusia.

- Cemaran bahan kimia: Selain residu obat, cemaran pestisida, logam berat, dan aflatoksin juga ditemukan dalam produk peternakan karena kontaminasi pada pakan ternak. Hal ini harus diwaspadai agar produk ternak aman untuk dikonsumsi. Penanganan cemaran pada proses pra-produksi dan produksi harus ditingkatkan untuk memastikan keamanan pangan asal ternak di Indonesia.

Pengaruh terburuk dari cemaran pangan asal ternak adalah kerugian ekonomi yang ditimbulkannya terhadap perdagangan domestik maupun global. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah kasus penyakit Sapi Gila (Mad Cow) di Inggris, dimana puluhan ribu ekor sapi harus dimusnahkan dan negara tersebut kehilangan pasar ekspornya. Hal serupa juga terjadi pada penyakit PMK di Eropa dan penyakit virus Nipah di Malaysia. Negara-negara tersebut mengalami kerugian besar baik secara finansial maupun dalam hal kehilangan pasar ekspor. Dampak lainnya adalah terganggunya pasar lokal seperti yang terjadi pada kasus penyakit Antraks di Kabupaten Bogor. Keseluruhan, cemaran pangan asal ternak memiliki dampak yang luas dan serius pada perekonomian suatu negara.

Dampak terhadap kesehatan manusia akibat Penyakit Sapi Gila (BSE) di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya telah menimbulkan kematian bagi sejumlah orang. Keresahan masyarakat Eropa, terutama di Inggris, semakin meningkat karena masa inkubasi penyakit ini baru terlihat setelah lebih dari 5 tahun. Wabah penyakit "virus Nipah" di Malaysia antara tahun 1998 hingga 1999 juga menyebabkan lebih dari 100 kematian, terutama pada mereka yang berhubungan dengan ternak babi yang terinfeksi virus tersebut. Virus ini sangat mematikan dan menular langsung melalui kontak dengan babi yang terinfeksi.

Pengaruh terhadap kesehatan manusia yang mengonsumsi daging burung unta yang terinfeksi bakteri Antraks juga telah terjadi di Kabupaten Purwakarta pada tahun 1999 hingga 2000, serta kematian beberapa orang di Kabupaten Bogor pada akhir tahun 2000 dan awal tahun 2001 yang diduga disebabkan oleh mengonsumsi daging kambing atau domba yang terjangkit penyakit Antraks.

Dampak terhadap aspek sosial politik dari kasus telur yang tercemar Salmonella di Inggris di akhir tahun sembilan puluhan telah menimbulkan protes keras dari masyarakat terhadap Pemerintah Inggris. Kejadian ini menyebabkan pejabat teras Inggris yang bertanggung jawab atas masalah tersebut mengundurkan diri. Demikian pula, kasus cemaran dioksin pada produk ternak di Belgia juga berdampak pada pengunduran diri Menteri Pertanian Belgia.

Wabah penyakit "virus Nipah" di Malaysia juga menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat sekitar, yang mengakibatkan pengungsian massal keluarga yang tinggal di sekitar peternakan babi yang terkena wabah tersebut. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran yang luas di masyarakat Malaysia karena wabah tersebut berlangsung cukup lama.

Kasus Antraks yang menyerang burung unta di Purwakarta (1999 - 2000) dan wabah Antraks pada domba/kambing di Kabupaten Bogor (2000 - 2001) juga menimbulkan keresahan di masyarakat setempat. Kejadian ini memicu berbagai polemik yang panjang di antara birokrat, pengusaha, dan masyarakat. Bahkan media massa turut memanfaatkannya sebagai berita utama yang semakin memperpanas suasana polemik tersebut.

Dampak negatif lain akibat cemaran pangan asal ternak meliputi beberapa hal berikut:

1. Pemerintah dan masyarakat harus menanggung biaya perawatan korban akibat penyakit yang disebabkan oleh cemaran pangan tersebut.
2. Industri atau pengusaha mengalami penurunan produksi, bahkan bisa menyebabkan tutupnya usaha seperti kasus Antraks pada burung unta di Purwakarta.
3. Masyarakat peternak atau pengusaha mengalami kerugian akibat kematian ternak dalam jumlah besar, baik itu akibat penyakit maupun pemusnahan hewan yang terinfeksi.
4. Produktivitas manusia dapat menurun akibat terserang penyakit tersebut.
5. Terdapat potensi kehilangan nyawa atau kematian akibat cemaran pangan asal ternak.

Untuk memastikan bahwa daging sapi yang dikonsumsi oleh masyarakat aman dan sesuai dengan standar kebersihan dan kehalalan, pemerintah perlu mengatur hal tersebut melalui berbagai perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan dirjen, atau lembaga pemerintah lain yang memiliki kewenangan dalam hal tersebut. Berikut ini adalah beberapa peraturan penting terkait dengan penyediaan daging sapi dan produk ternak lainnya yang berkualitas, aman, dan halal bagi konsumsi masyarakat serta untuk keperluan ekspor.

a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang prinsip-prinsip dasar peternakan dan kesehatan hewan.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang kesehatan masyarakat veteriner.
c. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555 Tahun 1986 tentang persyaratan Rumah Potong Hewan (RPH) dan Usaha Pemotongan Hewan.
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia.
e. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan, dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia.
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan.
g. Keputusan Ketua Dewan Standarisasi Nasional Nomor 018/IV.2.06/H.K.01.04/5/92 tentang Sistem Standarisasi Nasional.
h. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413 Tahun 1992 tentang pemotongan hewan potong dan pengamanan daging serta hasil sampingannya.
i. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 303/Kpts/OT.201/4/94 tentang kebijakan dalam pembinaan, pengolahan, dan pemasaran hasil pertanian melalui standarisasi, sertifikasi, dan akreditasi melalui sistem standarisasi pertanian.
j. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 466 Tahun 1994 tentang loka penguji mutu produk peternakan.
k. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan.
l. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6-6160-1999 tentang Rumah Pemotongan Unggas (RPU).
m. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran Mikroba dan Bahan Makanan Asal Hewan.

Masih banyak peraturan lain yang terkait dengan keamanan pangan, termasuk daging, telur, dan susu.

Pengawasan atas daging impor diatur oleh Surat Keputusan Menteri Pertanian. Pengawasan dimulai sejak bahan tersebut masih berada di negara asalnya sampai dipasarkan di wilayah Indonesia. Beberapa syaratnya adalah:

Penilaian terhadap negara asal dilakukan untuk menilai status penyakit hewan menular yang ada di negara tersebut. Penilaian juga dilakukan terhadap Rumah Potong Hewan (RPH) yang digunakan dalam proses produksi daging, kualitas daging, cara pemotongan, pengemasan, dan pengangkutannya. Juga diperlukan jaminan sertifikat kesehatan hewan, sertifikat halal, dan dokumen-dokumen lain yang mendukung. Aspek lain yang dinilai adalah adanya cemaran atau residu obat dan bahan kimia lainnya, termasuk bahan pengawet.

Pengawasan daging impor yang masuk ke Indonesia melalui pelabuhan laut maupun udara ditangani oleh petugas karantina setempat. Petugas karantina berhak membuka segel dan memeriksa kelengkapan dokumen serta kondisi daging tersebut.

Setelah diperbolehkan masuk oleh petugas karantina, peredaran daging impor di dalam negeri perlu diatur oleh pemerintah. Pemeriksaan atau pemantauan daging impor ini meliputi kesehatan, kelayakan, dan pengujian laboratorium secara berkala dengan metode sampling acak yang mencakup importir, negara asal, jenis daging, merek dagang, dan keterangan tempat pengambilan, baik di penyimpanan, pengangkutan, atau pemasaran.

Penerapan Konsep HACCP dalam Proses Penyediaan Daging Sapi

Analisis Bahaya Titik Pengendalian Kritis (HACCP) adalah suatu sistem keamanan pangan yang bertujuan untuk mencegah bahaya dan memastikan keamanan pangan. Konsep HACCP ini dapat diterapkan pada seluruh tahapan produksi makanan. Meskipun biasanya digunakan dalam industri pengolahan pangan, namun konsep ini dapat diimplementasikan mulai dari produksi bahan baku hingga distribusi. Pada setiap tahapan produksi pangan, dilakukan analisis untuk menentukan tingkat bahaya dan titik pengendalian kritis (CCP).

HACCP merupakan sistem jaminan mutu dan keamanan yang didasarkan pada asumsi bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai titik dalam proses produksi, namun dapat dikendalikan. Bahaya tersebut dapat berupa kontaminasi mikrobiologi, kimia, atau fisik yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Dari titik kritis ini dimulai pengawasan untuk mengeliminasi atau mencegah bahaya tersebut.

Konsep HACCP pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1971/1972, namun baru diadopsi oleh Codex Alimentarius Commission pada tahun 1993 untuk industri pangan. Di Indonesia, beberapa perusahaan telah menerapkan HACCP seperti Rumah Pemotongan Ayam "Suri Chicken", Charoen Pokphand, McDonald's Indonesia, dan P.T. Indofood Sukses Makmur.

Dalam penerapan HACCP, terdapat 7 prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Identifikasi bahaya dan penentuan langkah pengendalian.
2. Penetapan titik pengendalian kritis (CCP).
3. Penetapan limit kritis untuk setiap CCP.
4. Proses pemantauan pada setiap CCP.
5. Tindakan koreksi jika terjadi penyimpangan.
6. Sistem pencatatan yang efektif.
7. Prosedur verifikasi untuk memastikan keberhasilan sistem HACCP.

Selain 7 prinsip penting yang harus dipahami dalam menerapkan HACCP, ada 12 langkah krusial yang perlu diperhatikan saat pelaksanaannya. Pertama, tim HACCP harus terdiri dari berbagai ahli yang memiliki keahlian yang diperlukan. Kedua, produk harus dijelaskan secara detail, termasuk komposisi dan distribusinya. Ketiga, sasaran pengguna makanan harus diidentifikasi dengan jelas. Keempat, bagan alir produksi harus dirancang dengan teliti. Kelima, bagan alir operasional harus diterapkan dan diperiksa dengan cermat.

Keenam, bahaya harus diidentifikasi pada setiap tahapan produksi dan cara pencegahan serta pengawasannya harus ditentukan. Ketujuh, titik-titik pengawasan harus ditetapkan dan diidentifikasi. Kedelapan, batas kritis CCP harus diputuskan untuk memastikan bahwa bahaya dapat dikendalikan dengan efektif. Kesembilan, sistem monitoring harus diterapkan untuk setiap CCP. Kesepuluh, tindakan koreksi harus dilakukan jika terjadi penyimpangan selama monitoring. Kesebelas, pencatatan dan dokumentasi program HACCP harus dilakukan. Terakhir, prosedur verifikasi program HACCP harus ditetapkan.

Penerapan HACCP dalam proses produksi daging di RPH atau RPU untuk ayam harus disertai dengan gambar Bagan Alir. Dari bagan alir tersebut, titik-titik kritis dari setiap tahapan proses produksi dapat ditentukan, serta risiko potensial yang mungkin terjadi pada tahapan-tahapan kritis tersebut. Tindakan pengawasan juga dapat ditetapkan untuk mengurangi kemungkinan bahaya. Selanjutnya, prosedur dan langkah-langkah pengawasan dan pencegahan harus ditetapkan agar pengawasan dapat berjalan efektif.

Berdasarkan langkah-langkah yang harus diterapkan dalam konsep HACCP, langkah selanjutnya adalah menetapkan batas kritis seperti pada langkah kedelapan, dan dilanjutkan hingga langkah terakhir. Konsep HACCP ini juga dapat diterapkan untuk memastikan keamanan susu dan telur.

Pengamanan pada tahap praproduksi sangat penting dalam menjaga keamanan pangan. Mulai dari saat ternak dipelihara di tingkat peternakan, keamanan dan kualitas ternak serta produknya sangat tergantung pada keamanan pakan, air, dan lingkungan sekitar ternak tersebut. Dalam proses pra-produksi ini, langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain mengontrol penyakit ternak secara biologis tanpa penggunaan bahan kimia berlebihan, memastikan kualitas pakan yang bebas dari cemaran mikrobiologis dan bahan kimia berbahaya, serta mengontrol sumber air agar bebas dari logam berat dan mikroorganisme patogen. Selain itu, mengatur akses petugas ke peternakan dengan ketat untuk menghindari stres pada ternak dan mencegah penyebaran penyakit. Pastikan juga bahwa lingkungan sekitar peternakan tidak menjadi daerah yang rentan terhadap penyakit. Dengan melakukan langkah-langkah tersebut, keamanan dari ternak dan produknya dapat terjamin.

/[ 0 comments Untuk Artikel Keamanan makanan]\

Post a Comment