Susu merupakan salah satu makanan yang kaya nutrisi, terutama dalam hal protein, lemak, mineral, dan beberapa vitamin. Dalam menangani kasus gizi buruk, susu menjadi pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan protein. Namun, perlu diingat bahwa susu juga bisa menjadi sarang bagi mikroorganisme berbahaya jika tidak diolah dengan benar. Oleh karena itu, penting untuk memastikan kualitas dan keamanan susu yang dikonsumsi agar tidak membahayakan kesehatan.
Di Indonesia, susu yang berkualitas harus memenuhi standar SNI susu segar dan SNI pengujian susu segar. Salah satu cara untuk meningkatkan daya tahan susu adalah melalui proses pasteurisasi, yang juga dapat memberikan variasi rasa dan kemasan yang menarik. Produk susu pasteurisasi siap minum menjadi favorit konsumen karena memiliki kualitas dan keamanan yang terjaga.
Selain itu, susu pasteurisasi juga dapat menjadi produk alternatif bagi peternak untuk meningkatkan nilai tambah dari susu yang dihasilkan. Di beberapa negara berkembang, terdapat berbagai produk olahan susu seperti susu yang difermentasi, keju, dan lemak susu. Meskipun tingkat konsumsi susu di Indonesia masih rendah, dengan upaya meningkatkan konsumsi susu segar atau susu murni, diharapkan dapat membantu dalam peningkatan asupan protein hewani secara keseluruhan.
Penting untuk memastikan kualitas bahan pangan agar memberikan manfaat maksimal bagi konsumen. Pengawasan mutu pangan berdasarkan prinsip pencegahan seperti HACCP dianggap lebih efektif daripada inspeksi produk akhir di laboratorium. Konsep HACCP lahir dari tuntutan konsumen akan keamanan pangan dan kualitas bahan pangan yang dikonsumsi. Jaminan mutu pangan yang baik akan berdampak positif pada kesehatan dan kesejahteraan konsumen.
Susu merupakan salah satu makanan yang kaya gizi, terutama protein, lemak, mineral, dan vitamin. Pada kasus gizi buruk, susu menjadi pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan protein. Namun, susu juga dapat menjadi sarang bagi mikroorganisme berbahaya, sehingga penting untuk memastikan kualitas dan keamanan produk susu. Pasteurisasi menjadi cara untuk memperpanjang daya tahan susu dan meningkatkan keamanannya.
Di Indonesia, konsumsi susu masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Produk susu pasteurisasi dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan konsumsi susu dan memberikan nilai tambah bagi peternak. Keamanan pangan menjadi hal yang penting untuk menjaga kesehatan konsumen, dan konsep HACCP merupakan sistem yang dapat memastikan keamanan pangan melalui pengawasan mutu selama rantai produksi pangan.
Penelitian dilakukan pada unit produksi susu pasteurisasi untuk mengidentifikasi kendala dan faktor yang mempengaruhi mutu dan keamanan produk, serta penerapan HACCP dalam proses produksi susu pasteurisasi.
Pendekatan masalah dilakukan dengan cara melakukan observasi langsung di lapangan, melakukan kunjungan ke industri susu pasteurisasi, mempelajari sistem mutu dan keamanan pangan yang diterapkan, serta mengevaluasi tingkat keamanan pangan yang diberikan oleh sistem atau pengawasan mutu dan keamanan yang telah diterapkan. Titik-titik kritis dalam proses produksi ditentukan, bahaya yang mungkin terjadi diidentifikasi, dan langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan dipelajari.
Penelitian dilakukan pada empat unit proses susu pasteurisasi yang telah beroperasi selama lebih dari 3 tahun dan menghasilkan produk yang hampir sama, yaitu satu unit di Jakarta (A), dua unit di Bandung (B dan C), dan satu unit di Bogor (D). Penelitian melibatkan kunjungan ke fasilitas produksi, wawancara dengan personel yang bertanggung jawab di setiap unit, observasi proses produksi, dan pengambilan contoh susu dari titik-titik kritis dalam rantai produksi. Contoh susu diuji untuk cemaran mikroba, total plate count (TPC), keberadaan bakteri Coliform, dan Salmonela secara semi kuantitatif menggunakan EnvirocheckR (Merck). Pengujian dilakukan segera setelah pengambilan sampel susu. Kandungan residu antibiotika golongan penisilin dalam susu bahan baku ditentukan dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) sesuai dengan metode yang dimodifikasi dari BOISON et al. (1994). Ekstraksi dilakukan dengan penambahan larutan asam sulfat 0,17 M dan larutan 5% sodium tungstat, kemudian ekstrak dianalisis menggunakan KCKT dengan kolom μ Bondapak C-18 (Waters) dan fase gerak larutan 0,01 M KH2PO4:CH3CN3:CH3OH (5:3:2) dengan detektor UV L-7400 (Hitachi) pada panjang gelombang 310 nm.
Untuk meningkatkan daya tarik susu pasteurisasi, beberapa produk susu tersebut diberi rasa atau aroma tertentu. Susu pasteurisasi dengan aroma coklat dan strawberry dihasilkan oleh keempat unit produksi yang dikunjungi, sedangkan susu dengan aroma vanila diproduksi oleh A di Jakarta dan aroma mocca diproduksi oleh B di Bandung. Pada Tabel 1 terlihat gambaran umum dari keempat unit produksi tersebut. Pada proses pasteurisasi, pemanasan dilakukan di bawah titik didih susu untuk memastikan nilai nutrisi, konsistensi, dan rasa dari susu tetap terjaga. Biasanya, pemanasan dilakukan pada suhu 72ºC selama 15 detik atau 63ºC selama 30 menit. Pemanasan pada suhu 72ºC selama 15 detik lebih umum digunakan karena prosesnya lebih cepat melalui heating exchanger.
Selanjutnya, susu didinginkan secara cepat hingga suhu di bawah 10ºC untuk mencegah pertumbuhan mikroba yang tahan panas. Pengemasan sebaiknya dilakukan segera setelah suhu dingin tercapai, dalam wadah tertutup rapat untuk mencegah kontaminasi dari luar. Jika tidak, susu harus disimpan dalam ruang pendingin dalam wadah tertutup rapat. Produk yang dihasilkan oleh unit A dan C dianggap lebih aman daripada yang dihasilkan oleh unit B dan D. Unit A dan C memberikan nilai positif yang lebih tinggi dalam hal kebersihan dan keamanan produk.
Kontrol tidak hanya dilakukan pada bahan baku dan produk akhir, tetapi juga pada bahan tambahan seperti gula, pewarna, dan aroma. Kontrol terhadap kebersihan ruang prosesing dan personil yang masuk juga penting untuk mencegah kontaminasi. Pasteurisasi dilakukan untuk menghilangkan mikroba patogen, namun mikroba tahan panas dan spora tidak dapat dihilangkan sepenuhnya.
Dalam produksi susu pasteurisasi, urutan proses yang dilakukan sangat penting. Unit A dan B mengikuti standar prosesing yang sama, yaitu pasteurisasi setelah mixing dan homogenisasi. Namun, unit C melakukan pasteurisasi dua kali untuk memastikan kebersihan produk. Pasteurisasi kedua sebenarnya bisa dihilangkan jika dilakukan setelah mixing dan homogenisasi untuk efisiensi produksi.
Bahan baku susu yang digunakan di unit A memiliki jumlah cemaran mikroba yang paling rendah (103), diikuti oleh unit C (105), sementara bahan baku susu di unit B dan D adalah 107. Menurut SNI 01-6366-2000, batas cemaran mikroba yang diizinkan dalam susu segar adalah 3 x 104 CFU/g (BSN, 2000). Hal ini dapat dimengerti karena spora yang dihambat pertumbuhannya oleh pasteurisasi akan berkembang dengan cepat jika suhu dan kondisi penyimpanan tidak dijaga. Jumlah mikroba yang tinggi pada awal proses akan memperpendek masa simpan produk susu hasil pasteurisasi.
Di unit C, mixing hanya dilakukan pada susu yang akan diberi rasa atau aroma, dengan penambahan gula dilakukan bersamaan. Kemudian dilakukan pasteurisasi setelah homogenisasi. Unit D hanya melakukan pasteurisasi sekali, dengan penambahan rasa dan aroma dilakukan setelah pasteurisasi. Tanpa pemeriksaan pada bahan tambahan, kemungkinan terjadi pencemaran akibat bahan tambahan yang terkontaminasi. Pada pembuatan susu tawar, tidak ada penambahan bahan lain, sehingga susu langsung dimasukkan dalam kemasan setelah pasteurisasi.
Upaya untuk meningkatkan kesadaran para pelaku sistem keamanan pangan tidaklah mudah karena keinginan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dengan modal minimal sering kali mengabaikan keamanan produk. Kesadaran dan pemahaman yang rendah terhadap system keamanan pangan menjadi kelemahan utama para pelaku usaha. Ini disebabkan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan bahan pangan asal hewan.
Homogenisasi adalah proses untuk memecah butir lemak menjadi butiran yang lebih kecil agar tidak terbentuk lapisan lemak di atas susu. Homogenisasi membuat susu lebih putih, lebih menarik, dan lebih enak. Hal ini telah menjadi standar dalam industri susu dan produk olahan susu yang menggunakan kultur.
Cemaran mikroba dalam susu dari berbagai titik dalam rantai produksi dapat dilihat pada Tabel 3, 4, 5, dan 6. Jumlah mikroba terkait dengan fasilitas dan personil dalam unit prosesing. Perbedaan dalam alur proses produksi dan kendala teknis pada saat pengambilan contoh mengakibatkan perbedaan titik pengambilan contoh dari satu unit ke unit lain. Namun, hasil analisa laboratorium dapat memberikan gambaran secara semi kuantitatif tentang sistem keamanan pangan dari setiap unit produksi.
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya kesehatan akibat konsumsi bahan pangan asal ternak, seperti Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Undang Undang Pangan No. 7 Tahun 1996. Selain cemaran mikroba, residu kimia seperti residu obat antibiotika dan hormon, residu pestisida, dan mikotoksin dalam produk ternak juga perlu diwaspadai. Residu antibiotika dalam produk peternakan dapat menyebabkan resistensi mikroba, yang diakui oleh FAO/WHO/OIE (2003).
Negara-negara di Eropa pada tahun 1999 telah melarang penggunaan 4 jenis antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan, yaitu basitrasin, virginiamisin, tylosin, dan spiramysin. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia belum mengeluarkan peraturan yang melarang penggunaan keempat antibiotika tersebut dalam bidang peternakan. Keberadaan residu antibiotika dalam produk ternak telah sering dilaporkan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam penelitian ini, ditemukan residu antibiotika penisilin dalam bahan baku susu yang digunakan oleh unit D di Bogor. Dalam penerapan HACCP, antisipasi terhadap residu antibiotika dapat dilakukan dengan mengontrol bahan baku, sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menolak bahan baku susu yang mengandung residu antibiotika.
Konsep HACCP merupakan sistem jaminan mutu yang berdasarkan kesadaran bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai tahap produksi namun dapat dikendalikan. Kunci utama dari HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan. Sebagai tahap akhir, dilakukan identifikasi bahaya dan pencegahan bahaya pada proses pembuatan susu pasteurisasi. Identifikasi titik kritis dalam produksi susu pasteurisasi tersebut menunjukkan bahwa personil yang terlibat dalam proses produksi juga merupakan sumber bahaya selain bahan baku, bahan tambahan, peralatan, ruangan, dan bahan pengemas.
Penerapan sistem HACCP dapat diuraikan dalam tujuh langkah utama, yaitu analisis bahaya, penentuan pengawasan pada titik kritis, pembuatan batas kritis, penentuan prosedur monitoring titik kritis atau Critical Control Point, pengembangan tindakan koreksi, pengembangan verifikasi, dan dokumentasi. Saat ini, HACCP semakin banyak diterapkan pada industri pangan, termasuk pangan asal ternak, terutama dalam industri skala besar atau yang melakukan ekspor produk. Beberapa negara tujuan ekspor mensyaratkan penerapan HACCP untuk produk yang diekspor. BSN juga menganjurkan penerapan HACCP untuk semua industri pangan, termasuk industri pangan asal ternak.
Penerapan HACCP dalam industri pangan skala kecil membutuhkan keterlibatan dan kesadaran semua pihak yang terlibat. Laboratorium sebagai sarana pendukung diperlukan untuk kegiatan pengawasan dalam penerapan sistem ini. Kesadaran dan komitmen personil yang terlibat menjadi kunci keberhasilan penerapan HACCP.
Post a Comment