Apa itu Thoharoh (Cara Bersuci) dan Bagaimana Melakukannya?

|| || || Leave a komentar

Al Ghuroba. Secara etimologi, ath-thaharah berarti kesucian dan kebersihan dari segala yang tercela, baik secara lahir maupun batin. Sedangkan dalam konteks fiqih, ath-thaharah merujuk pada hilangnya hambatan-hambatan yang dapat mengganggu sahnya shalat, yaitu hadats atau najis. Proses menghilangkan hadats atau najis dilakukan dengan air atau debu.

Hadats merujuk pada kondisi dimana seorang Muslim kehilangan kesucian wudlu karena adanya keluarnya sesuatu dari kemaluan depan atau belakang, atau karena hubungan suami istri yang melibatkan penetrasi. Jadi, seseorang dikatakan berhadats ketika wudlunya menjadi batal karena sebab-sebab tersebut.

Ath-thaharah menurut istilah fiqih mengacu pada kondisi dimana seseorang telah bersih dari hadats dan najis, sehingga dapat melaksanakan shalat dengan benar.

Beberapa ketentuan terkait hadats telah dijelaskan dalam hadits Rasulullah, dimana shalat seseorang tidak akan diterima tanpa bersuci terlebih dahulu. Hadits ini memberikan penjelasan bahwa hadats meliputi keluarnya angin atau kentut. Namun, para ulama juga menambahkan jenis-jenis hadats lainnya seperti menyentuh kemaluan, menyentuh perempuan, muntah, dan berbekam.

Dengan demikian, hadits yang mengacu pada hadats angin atau kentut merupakan peringatan terhadap hadats yang paling umum terjadi selama shalat. Para ulama juga menjelaskan jenis-jenis hadats lainnya, namun Abu Hurairah dan Al-Bukhari lebih fokus pada hadats yang keluar dari dua jalan.

Para ulama menjelaskan bahwa hadats terdiri dari dua bagian:

1). Al-Hadatsul Asghar, yaitu hadats kecil yang mencakup semua hal yang dapat membatalkan wudhu, yang hanya dapat dihilangkan dengan berwudhu.

2). Al-Hadatsul Akbar, yaitu hadats besar yang mencakup semua hal yang dapat membatalkan wudhu dan harus dihilangkan dengan mandi junub yang disertai dengan berwudhu.

Namun, yang umumnya dikenal adalah hadats yang merupakan hal-hal yang dapat membatalkan wudhu dan hanya dapat dihilangkan dengan berwudhu, atau yang dikenal sebagai al-hadatsul ashgar (hadats kecil). Sedangkan al-hadatsul akbar sering disebut sebagai junub, haidl, atau nifas.

KEUTAMAAN THAHARAH
Setelah memahami tentang najis dan hadats, penting bagi kita untuk memahami keutamaan ath-thaharah di sisi Allah, terutama dalam hubungannya dengan ibadah kepada-Nya. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"Allah menyukai orang-orang yang banyak bertaubat dan orang-orang yang menjaga kebersihan." (Al-Baqarah: 222)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
"Berthaharah merupakan separuh dari iman." (HR. Muslim)

Dan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
"Kunci shalat adalah bersuci, dan shalat diharamkan dimulai dengan takbir, dan dihalalkan dengan salam." (HR. Tirmidzi)

ADA HAL-HAL YANG TIDAK DIANGGAP NAJIS
Sebelumnya, kita telah membahas bahwa hukum asal segala benda adalah tidak najis kecuali ada keterangan dari Al-Qur'an dan Al-Hadits yang menyatakan bahwa benda tersebut najis. Namun, ada beberapa hal yang sebenarnya tidak najis, namun banyak orang menganggapnya najis. Hal-hal yang tidak termasuk dalam najis adalah:

1) Air mani dari seorang Muslim. Meskipun air mani menyebabkan batalnya wudhu, namun ada riwayat yang menyatakan bahwa air mani tidak najis bagi seorang Muslim. Aisyah Ummul Mukminin pernah melihat air mani kering di baju Rasulullah dan beliau tidak menganggapnya najis.

2) Kotoran dan air kencing hewan yang dagingnya halal dikonsumsi. Sebagai contoh, kotoran dan air kencing kambing, sapi, unta, dan lainnya tidak dianggap najis. Rasulullah pernah memberikan obat kepada orang-orang Uraniyyin dengan minum air kencing unta dan air susunya.

3) Bekas air mandi dan air wudhu seorang Muslim tidak dianggap najis. Begitu pula bersalaman dengan seorang Muslim yang sedang dalam keadaan junub. Rasulullah pernah mandi dengan air bekas mandinya Maimunah.

Dengan demikian, hal-hal tersebut tidak dianggap sebagai benda najis menurut Islam.

4). Jika darah atau nanah keluar dari tubuh seorang Muslim dan bukan dari qubul atau dubur, maka darah tersebut tidak dianggap najis. Sebuah riwayat dari Abu Dawud dalam Sunannya mengisahkan seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang terkena panah musuh saat sedang shalat di tengah pertempuran. Meskipun darah mengalir dari lukanya, sahabat tersebut tetap melanjutkan shalatnya tanpa membatalkannya. Ini menunjukkan bahwa darah yang keluar dari tempat lain selain dari dua jalan tersebut tidak dianggap najis dan tidak membatalkan wudhu. (Lihat Sunan Abi Dawud Kitabut Thaharah bab Wudlu' minad Dam hadits ke-198 dari Jabir radliyallahu 'anhu. Juga lihat Syarhus Sunnah Al-Baghawi Kitabul Haidl bab Man Shalatahu Addam riwayat ke-330 jilid 1 hal. 425-426).

5). Sesuatu yang keluar dari mulut seorang Muslim seperti muntah, ingus, atau ludah tidak dianggap najis. Imam Ibnu Hazmin menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban wudhu ketika terkena hal-hal tersebut karena tidak ada nash dalam Al-Qur'an, hadits, atau ijma' yang mewajibkan wudhu karena hal tersebut. (Al-Muhalla, Ibnu Hazm, jilid 1 hal. 236 masalah ke-169).

CARA BERSUCI DARI NAJIS ATAU HADATS

Cara untuk bersuci dari najis atau hadats adalah dengan menggunakan air suci dari najis. Air suci dari najis adalah air yang tidak memiliki warna atau bau najis. Allah SWT menjelaskan kedudukan air sebagai alat bersuci dari najis dan hadats dalam Al-Qur'an: "Dan Kami turunkan air dari langit sebagai alat bersuci." (Al-Furqan: 48). Juga firman-Nya: "Dan Allah turunkan air dari langit kepada kalian agar Dia mensucikan kalian dengannya dari najis dan agar menghilangkan was-was syaitan." (Al-Anfal: 11).

Rasulullah SAW juga mengajarkan pentingnya air sebagai alat bersuci dari najis dan hadats. Sebagaimana sabdanya: "Sesungguhnya air itu sifatnya suci dan mensucikan kecuali bila berubah baunya, atau rasanya, atau warnanya dengan benda najis yang jatuh ke dalamnya." (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra jilid 1 hal. 260).

Oleh karena itu, air tetap menjadi alat bersuci yang efektif selama tidak terdapat bau atau warna dari benda najis pada air tersebut. Untuk membersihkan benda najis, cukup mengalirkan air ke bagian yang terkena najis hingga bekas-bekas najis seperti bau, warna, dan rasa hilang. Nabi SAW contohkan hal ini dalam kejadian seorang Arab yang kencing di masjid, di mana beliau memerintahkan untuk membersihkan tempat tersebut dengan air setelahnya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan cara membersihkan najis dengan menyiramkan air ke atasnya karena masjid beliau pada masa itu memiliki lantai berpasir, sehingga air banyak digunakan untuk menghilangkan bau dan bekas najis. Jika air kencing mengenai lantai, sebaiknya lap kering digunakan untuk menyerapnya terlebih dahulu, kemudian lantai dibersihkan dengan air bersih agar tidak menyebar ke area lain. Kain yang terkena najis juga harus dicuci dengan air bersih hingga bekas najisnya hilang.

Dalam hadits, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan petunjuk kepada seorang wanita yang hanya memiliki satu baju saat haid untuk mencucinya setelah masa haid berakhir. Jika bekas darah tidak hilang setelah dicuci, itu tidak masalah. Hal yang sama berlaku untuk jilatan anjing pada bejana, dimana harus dicuci tujuh kali dengan tanah sebelumnya jika anjing menjilat bejana.

Perihal bersuci dari hadats kecil dilakukan dengan wudhu, sementara bersuci dari hadats besar dilakukan dengan mandi junub. Ini adalah tuntunan Islam yang harus diikuti dengan penuh keyakinan.

Anjing yang menjilat tempat air harus dicuci dengan benar agar bekas najisnya hilang. Namun, jika anjing menjilat tanah, tidak perlu dicuci karena najisnya sudah tercampur dengan tanah. Menurut Al-Muhalla karya Ibnu Hazm, mencuci bejana yang dijilat anjing tidak bisa digantikan dengan sabun atau bahan pembersih lainnya, karena cara mencucinya adalah ibadah yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian, tuntunan Islam dalam masalah at-thaharah menunjukkan kesesuaian agama dengan fitrah manusia. Penting untuk tidak mempertanyakan tuntunan Al-Qur'an dan Al-Hadits ini dengan akal yang terbatas, karena at-thaharah adalah bagian dari ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta'ala. Semoga kita senantiasa dapat menjalankan ajaran Islam dengan baik.

Demikianlah ringkasan mengenai tuntunan Islam dalam bersuci. Jangan lupa untuk selalu merujuk pada sumber yang sahih dan mempraktikkan ajaran agama dengan penuh keyakinan.

/[ 0 komentar Untuk Artikel Apa itu Thoharoh (Cara Bersuci) dan Bagaimana Melakukannya?]\

Posting Komentar