Berikut adalah penjelasan singkat tentang bagaimana mengetahui Ketetapan Awal & Akhir bulan Qomariyah (Hijriyah) yang biasa digunakan untuk mengetahui Awal Bulan Ramadhan / Hari Raya Besar Islam.
PENTINGNYA PERHITUNGAN YANG JELAS DALAM MENGAWALI PUASA.
Ramadhan berawal pada hari Syak (Ragu-ragu) adalah terlarang, yakni seseorang merasa ragu-ragu pada tanggal akhir bulan Sya’ban, jangan-jangan Ramadhan barangkali sudah dimulai, maka ia mulai berpuasa, maka puasanya tidak sah, seperti yang diterangkan oleh hadits berikut ini :
Dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar dimana ia berkata: “Sewaktu kami berada di rumah ‘Ammar bin Yasir kemudian ia menghidangkan sate kambing dan berkata: “Makanlah kamu sekalian”. Sebahagian orang berpaling dan berkata: “Saya sedang berpuasa”. ‘Ammar lantas berkata: “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum), maka ia telah mendurhakai Abul Qasim (Nabi Muhammad saw.)”.
Batas awal Ramadan menurut sabda Rasulullah saw. adalah sebagai berikut:
"Janganlah berpuasa sebelum bulan Ramadan. Berpuasalah setelah melihat hilal dan berbukalah setelah melihatnya. Jika cuaca mendung, maka lengkapi tiga puluh hari."
Diceritakan oleh Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang Arab datang kepada Nabi saw., berkata: "Saya melihat hilal Ramadan." Nabi saw. bertanya: "Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Orang itu menjawab: "Ya." Nabi bertanya lagi: "Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?" Jawabnya: "Ya." Kemudian Nabi bersabda: "Wahai Bilal! Sampaikanlah kepada orang-orang agar mereka berpuasa esok hari."
Pandangan Imam Madzhab tentang Ru'yatul Hilal berdasarkan perbedaan daerah berbeda-beda. Menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali, ketika hilal terlihat di suatu daerah, semua penduduk dari berbagai daerah harus berpuasa tanpa memperdulikan jaraknya dan tidak perlu memikirkan perbedaan waktu munculnya hilal. Sementara menurut Madzhab Imamiyah dan Syafi'iyyah, jika penduduk suatu daerah melihat hilal tetapi penduduk daerah lain tidak melihatnya, jika kedua daerah tersebut berdekatan, maka aturannya sama. Namun, jika munculnya hilal berbeda, maka setiap daerah memiliki aturan sendiri. Ketika langit cerah, puasa dimulai ketika hilal Ramadhan terlihat, sedangkan jika langit berawan, maka puasa dimulai pada bulan Sya'ban. Awal bulan Ramadhan ditandai dengan tampaknya bulan sabit (Hilal), dan jika langit berawan, genaplah tiga puluh hari bulan Sya'ban sebelum Ramadhan dimulai.
Berikut ini adalah kutipan dari hadits terkait perhitungan bulan Sya'ban untuk Ramadhan: Rasulullah bersabda: "Hitung-hitunglah bulan Sya'ban untuk Ramadhan." Selain itu, Nabi saw. juga menyatakan bahwa umat Islam dulu adalah umat yang ummi (buta huruf), tidak mampu menulis dan menghitung bulan dengan pasti, kadang dua puluh sembilan hari, kadang tiga puluh hari. Namun, saat ini umat Islam sudah terbebas dari keummiyannya, banyak yang menguasai ilmu modern seperti astronomi dan fisika. Dengan adanya teknologi canggih, mereka mampu menghitung perjalanan matahari, bulan, dan bintang dengan akurat. Oleh karena itu, mereka bisa menggunakan hisab untuk menentukan awal bulan Ramadhan, syawal, dan bulan-bulan lainnya tanpa masalah. Menurut Al-Allaamah Ahmad Syaakir r.a, meskipun penyaksian mata kepala menjadi penentu masa lalu, namun kini dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki umat Islam, penggunaan hisab adalah hal yang wajar.
Berdasarkan informasi di atas, terlihat bahwa penentuan hilal sangat mudah dilakukan dengan menggunakan peralatan modern. Oleh karena itu, kemungkinan untuk keliru dalam menentukan bulan Syawal sangat kecil. Meskipun seseorang menggunakan alat canggih untuk memastikan kemunculan hilal, mengapa masih ada keraguan? Apakah perlu terus meragukannya? Apa gunanya alat-alat canggih jika tidak dipercaya? Apa gunanya memiliki pengetahuan tanpa mengamalkannya? Seolah-olah ilmu tanpa amal sama saja seperti pohon tanpa buah.
Mengandalkan metode rukyat mungkin dilakukan pada zaman di mana teknologi modern belum ditemukan. Namun, dalam menentukan akhir bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal, penting untuk memastikan apakah hilal Syawal sudah terlihat. Jika hilal tersebut belum terlihat, maka bulan Ramadhan harus digenapkan menjadi tiga puluh hari. Jika setelah tiga puluh hari hilal Syawal masih belum terlihat, maka ini bisa terjadi baik langitnya cerah maupun mendung.
Jika langit cerah, maka puasa Ramadhan harus dilanjutkan pada hari berikutnya dan dianggap sebagai hari terakhir Ramadhan. Namun, jika langit mendung, maka puasa Ramadhan sudah bisa diakhiri karena sudah memasuki bulan Syawal. Jika hilal Syawal tertutup mendung, tetap harus menyempurnakan puasa selama tiga puluh hari dan tidak boleh berpuasa sebelum hilal terlihat jelas.
a. Alasan Mengapa Bulan Dipilih Sebagai Patokan Perhitungan Waktu
Ketika bulan terlihat di langit, orang akan teringat bahwa sekarang adalah bulan baru dan bulan sebelumnya telah berlalu. Oleh karena itu, Allah SWT memilih bulan di langit sebagai cara untuk menetapkan waktu bagi manusia. Semua orang dapat mengetahui waktu dengan melihat bulan di langit, yang tidak bisa dilakukan dengan matahari karena matahari tidak bisa berubah ukurannya.
b. Mengapa Matahari Tidak Dipilih Sebagai Patokan Perhitungan Waktu
Perjalanan matahari tetap, sedangkan perjalanan bulan berubah-ubah. Misalnya, jika hari raya puasa jatuh pada tanggal 10 Maret di tahun ini, tahun depan hari raya itu mungkin akan datang sekitar 10 hari lebih awal dari tanggal 10 Maret dan seterusnya. Jika menggunakan perhitungan matahari, tidak akan terjadi perubahan seperti itu. Dalam rentang 50 tahun, perbedaan hanya akan sekitar 4 atau 5 hari.
c. Manfaat Menggunakan Bulan Sebagai Patokan Waktu
Dengan menggunakan perhitungan bulan, hari-hari penting seperti hari puasa bisa berubah-ubah, bahkan mungkin jatuh di musim dingin. Hal ini sangat bermanfaat terutama bagi umat Islam di benua barat atau selatan di mana perbedaan musim sangat besar antara musim dingin dan panas.
Catatan kaki
[1]. Hazrat Hafiz Roshan Ali, yang diterjemahkan oleh R. Ahmad Anwar, dalam bukunya FIQIH AHMADIYAH, menjelaskan tentang puasa dalam hlm. 92-93
[2]. Moh. Zuhri Dipl. TAFL, Drs. H., dkk, dalam buku TARJAMAH SUNAN AT-TIRMIDZI II, menyebutkan tentang larangan puasa pada hari Syakk dalam Hadits No.681, hlm. 6
[3] Di bab yang sama, dijelaskan bahwa berpuasa dan berbuka karena melihat bulan, hlm. 8
[4] Penjelasan mengenai puasa dengan persaksian dapat ditemukan pada hlm. 10-11
[5] Muhammad Jawad Mughnoyah, dalam bukunya FIQIH LIMA MAZHAB, memberikan penjelasan tambahan, hlm.170
[6] Lihat juga referensi sebelumnya
[7]. Muhammad Bagir Al-Habsyi, dalam FIQIH PRAKTIS, juga memberikan penekanan pada hukum puasa, hlm.343
[8]. Hazrat Hafiz Roshan Ali, dalam bukunya FIQIH AHMADIYAH, memberikan panduan lebih lanjut tentang puasa, hlm. 92-93
[9]. Moh. Zuhri Dipl. TAFL, Drs. H., dkk, dalam TARJAMAH SUNAN AT-TIRMIDZI II, menjelaskan tentang menghitung bulan Sya’ban untuk Ramadhan, hlm. 7
[10] Ahmad Sunarto, dkk, dalam TARJAMAH SHAHIH BUKHARI III, menyinggung tentang kesulitan menulis dan menghitung bulan, hlm. 99
[11] Muhammad Bagir Al-Habsyi, dalam FIQIH PRAKTIS, memaparkan lebih lanjut mengenai hukum puasa, hlm.344
[12]. Abdur Rahmad Al Jaziri, dalam FIQIH EMPAT MADZHAB IV, memberikan informasi penting seputar fiqih, hlm. 16, 24
[13]. Muhammad Rawwas Qal’ahji, dalam ENSIKLOPEDI FIQIH UMAR BIN KHOROB RA, memberikan pencerahan tentang fiqih, hlm.553



Posting Komentar