Menentukan Awal Ramadhan dengan Metode Hilal dan Hisab

|| || || Leave a comments

Berdasarkan contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, penentuan awal bulan Ramadhan harus dilakukan dengan cara melihat langsung hilal atau menerima kesaksian dari satu orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika hilal tidak terlihat atau tidak ada kesaksian yang dapat diterima karena cuaca mendung, maka bulan Sya'ban akan digenapkan menjadi 30 hari.

Tindakan ini didasari oleh ayat Allah ta'ala dalam Surah Al Baqarah [2] : 185 yang menyatakan bahwa siapa pun yang menyaksikan hilal di bulan itu, maka dia wajib berpuasa di bulan tersebut. Dan juga hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa jika sudah mencapai malam kedua puluh sembilan dari bulan Sya'ban, tetapi hilal tidak terlihat, maka bulan Sya'ban harus diselesaikan menjadi tiga puluh hari.

Dengan demikian, kita sebagai umat Islam diharapkan untuk mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menentukan awal bulan Ramadhan agar ibadah puasa kita dapat diterima oleh Allah SWT.

Menentukan Awal Ramadhan dengan Hisab

Penting untuk diketahui bahwa mengenali hilal tidak dilakukan dengan cara hisab (menghitung posisi bulan menggunakan ilmu nujum) seperti yang dilakukan oleh beberapa organisasi Islam saat ini. Sebenarnya, cara yang lebih tepat sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan ru'yah (melihat langsung bulan dengan mata telanjang). Beliau telah bersabda, "Kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal hisab dan bulan itu bisa berjumlah 29 atau 30 hari." (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menggunakan ilmu hisab dalam menentukan awal bulan.

Meskipun ilmu hisab sudah ada pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tetap memilih untuk tidak menggunakannya. Petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah yang terbaik dan benar, karena beliau berbicara berdasarkan wahyu Allah. Allah berfirman, "Dan apa yang diucapkan oleh Nabi bukanlah sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Ucapan beliau hanyalah wahyu yang diterima." (QS. An Najm [53] : 3-4).

Penting untuk dicatat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengaitkan awal bulan Ramadhan dengan hisab, seperti yang dijelaskan dalam hadits di atas. Beliau hanya menyarankan untuk menggenapkan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari jika hilal tidak terlihat. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa cara yang lebih tepat untuk mengamati hilal adalah dengan ru'yah, bukan hisab.

Untuk pembaca yang ingin melihat pandangan Al Baaji seperti yang dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, berikut ini. Al Baaji menyatakan, "(Menetapkan awal Ramadan melalui ru'yah) merupakan kesepakatan para salaf (para sahabat) dan kesepakatan ini menjadi argumen bagi mereka yang menggunakan hisab." Ibnu Bazizah juga mengungkapkan dalam karyanya yang sama, "Mazhab yang menetapkan awal Ramadan dengan hisab dianggap sebagai Mazhab yang salah dan syariat melarang untuk mempelajari ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya berupa perkiraan (dzon) dan bukan ilmu pasti (qoth'i) atau keyakinan yang kuat. Jika penentuan awal Ramadan hanya bergantung pada ilmu hisab, agama ini akan menjadi sangat sempit karena hanya sedikit orang yang menguasai ilmu hisab tersebut."

Jika pada malam ketiga puluh Sya'ban tidak terlihat hilal karena tertutup awan atau mendung, maka bulan Sya'ban harus dilengkapi menjadi 30 hari. Pada hari tersebut, tidak diperbolehkan untuk berpuasa berdasarkan hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa berpuasa pada hari tersebut maka boleh berpuasa." (HR. Tirmidzi dan disahkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho'if Sunan Nasa'i).

Hadits ini menegaskan bahwa mengambil langkah untuk berpuasa sehari sebelum bulan Ramadhan sebagai langkah pencegahan karena khawatir bahwa hari tersebut mungkin sudah masuk bulan Ramadhan adalah dilarang. Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengancam orang-orang yang berlebihan dalam hal ini dengan firman-Nya, "Binasa orang yang berlebihan." Pada hari tersebut juga tidak disarankan untuk berpuasa karena hari tersebut merupakan hari yang diragukan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka ia telah durhaka kepada Abul Qasim (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam)." Namun jika pada hari yang diragukan tersebut pemerintah memerintahkan untuk berpuasa, maka umat Muslim diwajibkan untuk mengikuti perintah pemerintah mereka.

Untuk menjaga persatuan umat Islam, cara terbaik untuk menentukan awal Ramadan adalah dengan mengikuti keputusan pemerintah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Puasa kalian ditetapkan ketika kebanyakan dari kalian berpuasa, Idul Fitri ditetapkan ketika kebanyakan dari kalian merayakannya, dan Idul Adha ditetapkan ketika kebanyakan dari kalian merayakannya." (HR. Tirmidzi)

Imam Tirmidzi menjelaskan, "Beberapa ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan bahwa puasa dan hari raya sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan mayoritas masyarakat." Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk untuk taat kepada Allah, yang telah memberikan berbagai nikmat kepada kita. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya terwujud amal-amal yang baik. Semoga rahmat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabat beliau. 

 



/[ 0 comments Untuk Artikel Menentukan Awal Ramadhan dengan Metode Hilal dan Hisab]\

Posting Komentar