Antara Sanksi dan Penghargaan

|| || || Leave a comments

Kita dapat memahami bahwa Hadiah dan Hukuman merupakan bagian penting dalam proses pendidikan. Pendidikan tidak hanya tentang belajar berbagai ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan individu secara menyeluruh, termasuk aspek intelektual, mental, emosional, sosial, dan lain sebagainya. Hadiah dan Hukuman adalah bagian dari upaya untuk menanamkan nilai-nilai positif kepada individu yang sedang dibimbing.

Hukuman sebaiknya digunakan secara bijaksana dan terencana untuk mencapai tujuan pendidikan, bukan sekadar sebagai reaksi spontan terhadap perilaku siswa. Hukuman tidak boleh dilakukan dengan emosi, balas dendam, atau untuk mencari jalan pintas. Contohnya, jika seorang siswa terlambat hadir, hukumannya bisa berupa tugas-tugas yang mendorongnya untuk berpikir lebih dalam, seperti membuat karya ilmiah, resensi, atau karangan pendek. Dengan cara ini, siswa dapat belajar dari setiap proses pendidikan yang dijalani.

Kekerasan dalam pendidikan tidak hanya menghasilkan budaya kekerasan, tetapi juga memengaruhi sikap negatif yang dapat muncul pada siswa atau mahasiswa. Contoh nyata adalah kasus STPDN, di mana ketidakmampuan untuk mengendalikan diri dan ketidakjujuran dalam menghadapi masalah bisa menghasilkan dampak yang buruk. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk memastikan bahwa Hadiah dan Hukuman digunakan dengan bijak untuk membentuk karakter positif pada individu yang sedang dibimbing.

Apa yang menjadi kekhawatiran kita, rangkaian "tragedi Jatinangor" ini, bukan hanya sebagai reaksi spontanitas, tetapi sebagai bukti dari kelemahan dalam sistem pendidikan yang telah tertanam dalam pola pendidikan. Keyakinan dan harapan yang menggelayut di benak orang tua ketika menitipkan anak mereka di lembaga pendidikan dengan tujuan, "menjadi manusia". Ungkapan "kolot" yang diwariskan dari generasi ke generasi dapat dianggap sebagai definisi yang sederhana namun cerdas dari pendidikan. Pendidikan seharusnya merupakan proses pembentukan hasrat untuk membangun kembali masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menekankan pengembangan potensi setiap individu secara maksimal. Dari konsep tersebut, sulit bagi kita untuk menerima dan memahami perilaku negatif siswa yang seolah-olah melegitimasi kekerasan.

Dengan menggunakan kekerasan, sulit bagi kita untuk membayangkan bagaimana calon pemimpin akan menyelesaikan masalah di masyarakat di masa depan. Kekerasan sama sekali tidak pernah menjadi bagian dari gagasan pendidikan. Filsuf pembaharu Paolo Freire dalam Pedagogy of the Opressed (1970) dengan jelas menyatakan, "Kekerasan, entah itu bersifat fisik maupun tidak, dianggap sama dengan tindakan apapun yang merampas manusia dari martabatnya dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri." Oleh karena itu, "tragedi Jatinangor" dan peristiwa kekerasan dalam dunia pendidikan perlu dijadikan bahan kajian terutama bagi para pendidik dan pengambil keputusan. Terlebih lagi, tantangan di masa depan tidak hanya membutuhkan kehandalan, kemampuan, dan ketahanan fisik, tetapi juga membutuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas, termasuk nilai intelektual dan integritas.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kekerasan dan pendidikan seharusnya bertolak belakang. Keduanya seharusnya tidak pernah bersinggungan. Munculnya tindakan anarkis dan kekerasan sebenarnya berasal dari agenda-agenda di sekolah atau kampus, seperti MOS (Masa Orientasi Siswa) dan Ospek (Orientasi Pengenalan Kampus), yang pada saat penerimaan siswa dan mahasiswa baru sering rentan terjadi. Inilah yang kemudian memicu dendam dan konflik karena sejak dulu, orientasi siswa dan mahasiswa sering kali menjadi ajang ketidakadilan. Semoga saat ini, tindakan di luar kendali tersebut dapat dikurangi dan orientasi siswa dan mahasiswa dapat kembali ke tujuan asalnya, yaitu pengenalan almamater. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat.

/[ 0 comments Untuk Artikel Antara Sanksi dan Penghargaan]\

Posting Komentar